Dr Luthfi Yazid SH LLM
Kekacauan pengembanan hukum praktis (chaotic legal endeavour) di Indonesia, yang terlihat pada hampir semua lini kehidupan bersama seharusnya menjadi alarm social yang mengingatkan kita untuk segera menata ulang sistem pengembanan hukum di Indonesia. Penataan ulang ini mencakup semua rangkaian aktifitas intelektual mulai dari penggalian, pengeksplorasian, pemformulasian, pelembagaan serta pelaksanaan hingga mempertahankannya di pengadilan, bahkan pasca putusan pengadilan, yaitu pengawasan dan pengembangannya. Tentu saja, sistem hukum mencakup substansi, struktur dan budaya hukum. Gagasan ini mensyaratkan perilaku dan tindakan para pengemban hukum dan masyarakat yang koheren dengan fondasi dalam berkehidupan bersama, berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila dan Konstitusi. Demikian pemikiran yang mengemuka dalam perjumpaan ilmiah yang diselenggarakan oleh Indonesian Ph.D. Council di Desa Lingsar, Lombok pada hari ketiga kemarin. Hukum dapat berujung pada anrakhisme yang pada gilirannya berpotensi menghentikan sustainabilitas tatanan kehidupan bersama.
Pada hari kedua the 1st International Conference on Ethics of Legal Endeavour, yang diselenggarakan oleh Indonesian Ph.D Council (Dewan DoktorHukum Indonesia) menampilkan beberapa nara-sumber dan speaker yaitu Prof. Dr. Topo Santoso, S.H.,MH; Dr. TM Luthfi Yazid, S.H.,LL.M; Dr. Indah Cahyani, SH,MH; Dr. Eny Suastuti, S.H.,M.Hum; Rizania Kharismasari, SH, MH dan Luh Putu Vera Astri Pujayanti, SH, MH.
Prof Dr. Topo Santoso, SH,MH, Guru Besar Fakultas Hukum UI yang juga berperan sebagai salah satu anggota tim penyusun KUHP baru mengatakan bahwa banyak pasal dalam KUHP yang baru yang merupakan “jalan tengah”. Misalnya beliau mencontohkan Pasal 100 KUHP terkait pidana mati. Pasal ini sesungguhnya menengahi mereka yang menginginkan penerapan pidana mati secara zakelijk, sementara di sisi lain ada yang menginginkan agar pidana mati tidak perlu diterapkan. Pelaksanaan pidana mati dalam Pasal 100 yang mengharuskan ada semacam “masa percobaan” selama 10 tahun (Pasal 100 ayat 1), maka hal ini memberikan waktu jeda kepada si terpidana sebelum pelaksanaan ekseskusi mati.
Yang lainnya adalah pasal 240 terkait penghinaan kepada pemerintah maupun lembaga negara. Pasal ini pun dikatakan sebagai “jalan tengah” karena belajar dari masa lalu saat Pasal Hatzaai Artikelen maupun UU No 11/PNPS/1963 tentang subversi. Karena kita mengalamai sejarah kelam masa Hatzaai Artikelen dan ketentuan tentang subversi. Di masa Orde Baru terlalu banyak korban dari Pasal Hatzaai Artikelen maupun UU Subversi. Sedikit saja mengkritik penguasa Orde Baru maka dengan mudah dijebloskan ke penjara. Di masa Presiden BJ Habibie ketentuan tentang Subversi ini dicabut. Pertanyaannya, apakah di masa Presiden Joko Widodo pasal tersebut akan dihidupkan kembali? Menurut Prof Topo, pasal 240 KUHP baru merupakan “jalan tengah”. Jangan sampai adanya pasal 240 membuat pejabat pemerintah menjadi baper, misalnya sedikit-sedikit melakukan laporan karena dikritik. Harus dibedakan yang disebut dengan kritik dan fitnah. Kalau terhadap kritik maka seorang pejabat sudah seharusnya terbuka dan menerima dengan sikap positif (if you are opened for criticism, you are on the right track for improvement).
Pasal tentang perzinahan, yaitu pasal 284 ayat 1 (b) di KUHP yang lama juga mendapat sorotan Prof Topo. Sebagaimana diketahui di masa lalu acapkali terjadi tindakan “eingenrichting” (main hakim sendiri) terkait “kumpul kebo” dan samen leven (hidup bersama tanpa ikatan pernikahan). Untuk menghindari kebrutalan atau tindakan main hakim sendiri, pasal perzinahan dalam KUHP baru direvisi. Dalam konteks delik aduan, kecil kemungkinan orang tua sendiri mengadukan atau melaporkan anak kandungnya sendiri yang melakukan kesalahan perzinahan. Dengan demikian, penyelesaiannya diharapkan agar orang tua sendiri yang melakukan pengayoman atau pembinaan secara kekeluargaan terhadap anak kandungnya sendiri.
Selanjutnya, pembicara lainnya juga menyuarakan pentingnya kekoherensian pengembanan hukum. Dr. T.M. Luthfi Yazid menekankan pentingnya menata ulang negara hukum yang bersandar pada Pancasila dan Konsitusi. Sebab a constitution without constitutionalism tak ada artinya.Gagasan ini mendapat tanggapan positif dari panelis dan peserta conference lainnya, seperti Prof.Dr. OK Saidin dari Sumatera Utara, yang menekankan pentingnya pengelolaan sumberdaya berbasis keadilan yang sesungguhnya. Bukan sekadar artificial ungkapan dan jargon-jargon yang menyesatkan dan menipu publik.
Menanggapi hal ini, Hayyan ul Haq, SH, LL.M, PhD menyatakan pentingnya penyelenggaraan semua urusan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bersandar pada Pancasila dan Konstitusi. Ia mengingatkan pentingnya semua elemen bangsa untuk berinteraksi, bekerjasama dan bertransformasi bersama dengan melekatkan Pancasila sebagai jiwa sekaligus fondasinya. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa Pancasila bukan saja sebagai way of life, seperti kata Bung Karno, tetapi juga sebagai “takdir” dalam kehidupan bersama kita (Collective Destiny) di Indonesia. Hal ini didasarkan atas world realms yang menunjukkan realita bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertuhan. Oleh karena itu, ia mengakui dengan tulus bahwa eksistensi kehidupannya merupakan anugerah dari kemahakuasaan tuhannya. Sehingga sangat logis, jika eksistensi dan kebebasan berperilaku, bersikap dan bertindak dari manusia Indonesia itu harus melekatkan nilai-nilai ketuhanan yang berkeadaban. Sila kedua ini merupakan konsekwensi logis dari pemahaman terhadap eksistensi manusia dalam kehidupan bersama yang terikat dengan nilai-nilai ilahiah, seperti kebaikan, kebenaran, kejujuran, keseimbangan, keutuhan keberlanjutan, dan seterusnya.
Secara faktual, kehidupan bangsa Indonesia yang berkeadaban itu tidak berhenti sampai pada kehidupan bersama saja. Tetapi, sebagai bangsa yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial dengan membentuk wadah yaitu NKRI yang diikat oleh prinsip persatuan Indonesia. Pemahaman atas konsep persatuan Indonesia ini harus dipahami secara utuh dan komprehensif. Bukan persatuan dalam konteks territorial saja, tetapi dalam konteks cara pandang yang utuh, termasuk cara pandang geopolitik. Dalam konteks ini, terlihat jelas bahwa Pancasila sebagai jawaban atas eksistensi kehidupan manusia, baik sebagai individu, atau pun bagian dalam kehidupan bermasayarakat berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan berdasarkan prinsip musyawarah.
Dengan demikian, semua urusan penyelenggaraan negara harus disandarkan pada prinsip yang utuh dalam mewujudkan keadilan dengan disinari oleh cahaya ketuhanan (ilahiah) yang berkeadaban. Dengan pemahaman fondasional di atas, maka konsekwensinya semua nilai-nilai konstitusi dan produk peraturan perundang-undangan harus diarus-utamakan secara koheren, khususnya dalam menata ulang (resetting) sistem pengembanan hukum di tanah air, guna menjamin keberlanjutan kehidupan bersama (collective sustainability of life)*