Triaspolitica.net : Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Demikianlah bunyi Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Pemilihan umum atau pemilu ini implementasi dari prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Prinsip kedaulatan rakyat tidak hanya tercantum dalam pasal-pasal, tapi juga di muat di bagian pembukaan UUD 1945. Pada alinea ke empat pembukaan UUD 1945 dinyatakan, "..maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...".
Secara normatif konstitusional sudah masyhur bahwa Indonesia menganut prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi. Hanya saja tafsirnya contradictio in terminis dengan demokrasi itu sendiri. Hal itu dapat kita lihat dari implementasinya yang liberal memosisikan rakyat hanya sebagai tukang coblos surat suara. Implementasi demokrasi di rancang hanya menjadi corong partai politik yang berkuasa berdasarkan superioritas dan majority di parlemen. Aspirasi rakyat yang berkembang tentang seorang tokoh yang diminati untuk menjadi pejabat publik dapat kehilangan kesempatan dengan mudah sehingga nama-nama yang dimunculkan dalam kontestasi politik adalah orang-orang yang dari sisi kompetensi atau kecakapan memimpin tergolong rendah demikian pula dari sisi akhlak atau komunikasi politik dengan rakyat juga rendah bahkan ada pula sebagiannya yang bermasalah.
Konfigurasi politik telah membuat capaian yang maju dalam melakukan rekayasa konstitusi sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi oligarki yang tumbuh dalam lingkaran partai politik yang berkuasa untuk mengontrol panggung kekuasaan atau pemerintahan. Kita lihat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa, "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta-peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum". Dari sinilah kemudian munculnya sistem koalisi atau pemilihan umum dengan model koalisi. Padahal telah banyak di kritik bahwa koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial adalah sesuatu yang tidak dikenal. Koalisi hanya relevan untuk konteks sistem pemerintahan parlementer.
Pada tulisan dengan topik "Neo Feodalisme-Neo Kapitalisme Dalam Pemilihan Umum" terbit pada 12 Oktober 2019 saya jelaskan bahwa ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tersebut memang membuka peluang untuk terjadinya koalisi. Jika kita cermati baik-baik awal mula koalisi ini muncul dari perumusan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yaitu pada frasa "... diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik....", ketentuan tersebut bersifat open multi interpretasi, memuat tafsiran yang opsional atau alternatif. Pertama, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat diusulkan oleh partai politik, partai politik disini secara mandiri tiap-tiap partai politik pada dasarnya dapat mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Kedua, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat diusulkan oleh gabungan partai politik. Keadaan semakin parah bahwa ternyata yang dimaksud gabungan partai politik tersebut hanyalah partai politik mayoritas di palemen yakni partai politik pemenang pada pemilihan umum sebelumnya.
Parlemen melalui superioritas partai politik yang berkuasa mengambil pilihan yang kedua yakni pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diusulkan atau harus diusulkan oleh gabungan partai politik peserta-peserta pemilihan umum. Kendatipun secara normatif dalam undang-undang masih disebutkan bahwa partai politik tanpa bergabung dengan partai politik lain dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi ketentuan tersebut lebih bersifat formalitas belaka. Sebab persyaratan presidenthial threshold yang di rancang sangat ketat mempersempit peluang bagi partai minority sehingga tidak punya keleluasaan untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Presidenthial threshold sebagaimana termaktub pada Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mensyaratkan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Ketentuan ini menjadi kriteria standar yang harus dipenuhi jika partai politik peserta pemilihan umum ingin mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dari rumusan tersebut yang mengundang aroma ketidakadilan adalah menjadikan acuan ketentuan 25 % dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Terlepas dari rasa ketidakadilan yang berkembang tersebut, nyatanya itulah cara yang efektif bagi partai politik majority untuk mempertahankan posisinya agar terus menjadi partai politik yang berkuasa dari periode ke periode lima tahunan dalam kontestasi pemilihan calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Eksistensi presidenthial threshold ini juga berlaku dan diterapkan dalam pemilihan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah di semua level yaitu level kabupaten/kota untuk mengusulkan calon Bupati/Walikota dan calon Wakil Bupati/Walikota serta pada level provinsi untuk mengusulkan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur.
Presidenthial threshold ini sangat rawan, sangat mudah disusupi kapitalis untuk mengamankan posisi mereka dalam menguasai kekayaan sumber daya alam yang mereka eksploitasi puluhan tahun di negeri ini. Mereka menjadi kaya raya dari hasil mengeksploitasi sumber daya alam negeri ini yang melimpah ruah, mereka berkembang pesat menjadi konglomerat level dunia yang sulit ditandingi yang memiliki pengaruh luar biasa dalam penentuan kebijakan-kebijakan nasional negara yang mereka "taklukkan". Dengan modal kekayaan yang tak terbatas mereka tumbuh menjadi penguasa yang sesungguhnya. Dengan modal besar yang mereka punya kapitalis-kapitalis itu dapat dengan mudah menguasai sektor perekonomian nasional negara-negara yang dieksploitasinya. Setelah perekonomian suatu negara berhasil dikuasai lalu kapitalis ini lebih mudah lagi menguasai perpolitikan nasional negara-negara yang di ekploitasi.
Dari sinilah kapitalis ini tumbuh dengan cepat menguasai serta dapat mengendalikan perekonomian dan perpolitikan internasional. Dengan kepemilikan modal yang luar biasa banyak kapitalis-kapitalis itu dengan mudah menyuplai dan memberi makan para pejabat publik yang secara hukum memiliki kekuasaan dalam pengambilan kebijakan nasional negaranya. Kapitalis atau lazim di lidah orang Indonesia disebut cukong tidak sungkan dan tidak keberatan jika harus memberi makan miliaran atau triliunan untuk pejabat publik pemegang kebijakan nasional. Dengan modal kekayaan yang sangat besar jumlah miliaran ataupun triliunan itu tidak seberapa berarti bagi mereka dibandingkan dengan jumlah kekayaan sumber daya alam di negeri-negeri yang mereka kuasai.
Presidenthial threshold membuka pintu bagi masuknya kapitalis untuk bekerjasama dengan oligarki yakni segelintir orang menentukan arah dan kebijakan strategis negara ini. Hal itu dimuluskan dalam bentuk pemilihan umum berbiaya mahal. Kondisi itu memotivasi seorang kontestan mau tidak mau mendatangi para kapitalis untuk meminta tambahan biaya. Sebab mahalnya biaya kampanye akibat banyaknya daerah pemilihan yang harus dikunjungi. Parlemen melalui corong oligarkinya beralasan bahwa penetapan lebih dari satu daerah pemilihan dilakukan demi legitimasi pemilihan umum itu sendiri bahwa perolehan suara harus tersebar merata ke banyak daerah bukti bahwa seorang calon pejabat publik memang benar-benar seorang yang diminati, diharapkan, dipercaya atau yang disetujui untuk memimpin, memperjuangkan aspirasi maupun kebutuhan masyarakat di daerah. Para oligarki ini adalah segerombolan orang-orang yang lapar dengan kekuasaan, nama besar atau popularitas, puja-puji dan penghormatan.
Kapitalis yang bercokol di negeri ini paham betul watak atau tipikal khususnya orang Indonesia, pejabat-pejabatnya terlebih yang kita sebut oligarki ini. Sebab itu kapitalis asing yang telah bertahun bahkan puluhan tahun bercokol di Indonesia siap dan dengan senang hati membantu menjadikan seseorang menjadi pejabat publik dan membuatnya terus bertahan dalam jabatannya itu. Tentu saja ada syarat mutlak yang harus mereka penuhi yakni akan selalu mengamankan posisi kapitalis di negeri ini dengan kebijakan yang melindungi dan menjamin eksistensinya. Jika seorang pejabat publik dipandang tidak lagi sejalan dengan visi misi kapitalis dalam mengeksploitasi sumber daya alam atau merasa posisinya terancam maka kapitalis tidak segan untuk melakukan rekayasa hukum agar mereka yang dipandang tidak sejalan terdepak dari kekuasaan politiknya dan merusak nama baiknya dengan menjadikannya narapidana dalam suatu kasus yang di rekayasa sedemikian rupa.
Maka kita tidak heran kita sering mendengar tiba-tiba seorang menteri atau pimpinan DPR dipidanakan dan diberhentikan dari jabatannya karena terlibat korupsi, penyuapan atau pencucian uang. Tidak hanya politisi, bahkan pengaruh kapitalis ini dapat menjangkau apar penegak hukum seperti kepolisian jaksa dan hakim. Pengaruhnya di dunia peradilan dapat meringankan putusan bahkan sampai terbitnya putusan bebas atau paling tidak dapat membuat berlarut-larutnya proses peradilan sehingga kasusnya tidak jelas penyelesaiannya. Oligarki terlahir dari rahim partai politik yang berkuasa. Oligarki merancang sistem politik dan mengendalikan perpolitikan nasional sedemikian rupa agar kekuasaan selalu ada di pihak mereka. Output dari keberadaan oligarki ini dapat berupa politik dinasti yakni kekuasaan politik atau jabatan-jabatan pemerintahan di pegang oleh orang-orang yang masih satu keluarga. Misalnya seorang yang menjabat sebagai Gubernur memiliki anak yang menjadi Bupati, atau jabatan ketua DPRD dipegang oleh istri atau menantu sang Gubernur. Ditambah lagi jabatan strategis di birokrasi juga di isi oleh mereka yang masih saudara dekat Gubernur.
Presidenthial threshold sesungguhnya adalah paradoks demokrasi. Tidak hanya menciptakan koalisi, tapi turut pula membuka pintu selebar-lebarnya dan memfasilitasi tumbuh suburnya kapitalisme. Puncak tertinggi dari dominasi kapitalisme adalah kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat yang dianut Indonesia hanya tersisa kedaulatan diatas kertas belaka, yakni diatas kertas Undang-Undang Dasar 1945 maupun undang-undang. Kedaulatan yang sesungguhnya tidak ada lagi, sudah terlepas dan berganti menjadi kedaulatan kapitalisme yang dengannya kebijakan apapun dalam negara terutama yang berskala nasional berada dibawah kontrol para kapitalis yang berhasil dibuat kaya raya oleh pejabat negeri ini dengan mentalitas budak dan mentalitas menindas bangsa sendiri.
Simpul pertemuan dan kemesraan antara oligarki dengan kapitalis adalah pemilihan umum yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Ini tidak ubahnya sebuah pesta pernikahan atau wedding party yang sangat mesra antara oligarki dengan kapitalis. Sebab itu tidak tepat menyebut pemilu atau demokrasi itu sebagai pesta rakyat. Rakyat tidak sedang berpesta, mereka hanya di posisikan sebagai tukang coblos surat suara dan digiring sebagai tim hore ketika pesta telah usai dilaksanakan untuk memberi ucapan selamat kepada para mempelai. Tulisan ini hanyalah satu dari sekian banyak tulisan yang menyoroti dan melakukan kritik argumentatif demi semakin membaiknya kondisi perpolitikan nasional kita di negeri ini dan supaya orang-orang yang menjadi pejabat publik adalah mereka yang memang terlahir dari aspirasi rakyat yang punya dedikasi serta loyalitas kepada rakyat memperjuangkan hak-hak dan menebar keadilan dengan kebijakan-kebijakannya.
Oleh : Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum dan Konstitusi)