Triaspolitica.net : Munculnya banyak komentar tentang pemilihan umum berbiaya tinggi harus menjadi perhatian yang serius bagi siapa saja yang konsen pada pemilihan umum dan dinamikanya dari tahun ke tahun. Terutama sekali bagi pembentuk undang-undang agar legislasi pemilihan umum dapat diperbaharui sehingga semakin membaik dan responsif terhadap perkembangan zaman. Sudah seharusnya kita pikirkan kembali matang-matang konsep pemilihan umum yang ideal dan yang paling terpenting model pemilihan umum yang efektif dan efisien. Sudah banyak kasus yang sampai kepada kita melalui pemberitaan di berbagai media menyuguhkan permasalahan yang bergulir saja seakan tanpa ada upaya yang berarti untuk memperbaiki model pemilihan umum yang diterapkan.
Undang-undang pemilihan umum dirancang bersifat matematik mengakibatkan tingginya biaya pemilihan umum. Misalnya saja mengenai kebijakan penentuan daerah pemilihan untuk menjadi anggota DPR RI, dikutip dari CNN Indonesia, pada pemilihan umum tahun 2019 lalu KPU RI menetapkan 80 daerah pemilihan di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut meningkat dari pemilihan umum tahun 2014 yaitu sebanyak 77 daerah pemilihan. Melonjaknya penambahan daerah pemilihan menjadi 80 daerah pemilihan pada pemilihan umum tahun 2019 terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Utara dan Nusa Tenggara Barat. Pembentuk undang-undang berpendapat bahwa penambahan daerah pemilihan tersebut sebagai imbas dari bertambahnya jumlah kursi anggota DPR RI yaitu sebanyak 575 kursi pada pemilihan umum tahun 2019, sedangkan pada pemilihan umum tahun 2014 ada sebanyak 540 kursi.
Sementara itu jumlah daerah pemilihan untuk pemilihan anggota DPRD provinsi seluruh Indonesia yaitu sebanyak 272 daerah pemilihan. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan jumlah daerah pemilihan pada pemilihan umum tahun 2014 yaitu sebanyak 259 daerah pemilihan. Demikian pula halnya dengan jumlah daerah pemilihan untuk pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota seluruh Indonesia yaitu 2.206 daerah pemilihan pada pemilihan umum tahun 2019. Jumlah tersebut juga mengalami peningkatan dibandingkan jumlah daerah pemilihan pada pemilihan umum tahun 2014 yaitu sebanyak 2.102 daerah pemilihan untuk seluruh Indonesia. Kalkulasinya sama dengan banyaknya jumlah daerah pemilihan DPR RI yaitu bertambahnya jumlah kursi yang diperebutkan dalam pemilihan umum. Disinilah tidak bijaksananya pembentuk undang-undang pemilihan umum. Menggunakan indikator jumlah kursi sebagai acuan untuk memperbanyak jumlah daerah pemilihan dalam pemilihan umum tidak tepat.
Jika ditelusuri latar belakang paradigma penambahan jumlah daerah pemilihan tersebut tidak akan jauh-jauh dari pikiran tentang legitimasi anggota parlemen. Legitimasi seseorang menjadi anggota DPR RI misalnya diukur dari seberapa merata penyebaran dukungan dari jumlah provinsi di Indonesia. Demikian pula untuk anggota DPRD kabupaten/kota, termasuk pula pada pemilihan kepala daerah. Undang-undang mensyaratkan bahwa derajat legitimasi seseorang menjadi anggota parlemen harus berbanding lurus dengan derajat representasinya di daerah. Artinya semakin banyak daerah pemilihan semakin seseorang itu dipandang representatif. Disinilah paradigma pemilihan umum yang untuk sementara ini sampai hari ini dinilai berkualitas itu dibentuk. Keadaan itulah yang membuat tingginya biaya penyelenggaraan pemilihan umum itu. Jika seseorang mencalonkan sebagai angggota DPR RI misalnya, maka dia harus turun kampanye ke masyarakat di semua daerah pemilihannya yang meliputi beberapa provinsi.
Dari situ kita bisa menduga berapa banyak biaya yang dihabiskan oleh seorang calon. Itu bukanlah biaya yang sedikit. Belum lagi berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk mencetak surat suara untuk selanjutnya disebar ke seluruh daerah pemilihan tersebut. Masih ditambah lagi dengan biaya distribusi ke seluruh daerah pemilihan. Bayangkan itu hanya biaya untuk surat suara saja. Bagaimana pula dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk logistik pemilihan umum yang lainnya. Akumulasi dari semua hal tersebut menjadikan pemilihan umum berbiaya tinggi. Kendatipun demikian mengenai logistik pemilihan umum ini tak lain adalah soal proyek, soal bisnis dan soal sirkulasi uang. Sementara retorika yang selalu dimunculkan adalah pemilihan umum yang demokratis dan berkualitas. Padahal keadaannya jelas sangat membebani keuangan negara dan yang dipertaruhkan adalah pemilihan umum itu sendiri.
Data dari publikasi informasi sekretariat kabinet terbit tanggal 26 Maret 2019 menyebutkan bahwa pemerintah melalui kementerian keuangan mengalokasikan anggaran pemilihan umum 2019 sebesar 25, 59 triliun atau naik sebanyak 61 % dari anggaran pemilihan umum tahun 2014 sebesar 15, 62 triliun. Meskipun data tersebut masih berupa data global untuk keseluruhan biaya yang dihabiskan untuk penyelenggaran pemilihan umum tetap saja jumlah tersebut sangat banyak dan membebani APBN. Banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk pemilihan umum hanya satu dari sekian masalah. Model pemilihan umum berbiaya tinggi tersebut nyatanya telah menjadi pemicu paling dominan dalam menyuburkan praktik money politic. Keadaan itu satu sisi merupakan konsekuensi logis yang diciptakan oleh undang-undang pemilihan umum yang kapitalistik. Dengan undang-undang yang kapitalistik seperti itu tidak hanya menginisiasi maraknya money politic.
Jika sudah demikian keadaannya, masalah yang sebenarnya bukan lagi terletak pada soal money politic, tetapi pada kerusakan moral atau degradasi moral yang mendorong seseorang mau tidak mau, suka tidak suka harus berpikir dan berprilaku serba pragmatis dan oportunis. Lagi-lagi kondisi tersebut akhirnya mendidik seseorang khususnya siapapun yang ingin menjadi pejabat publik melalui mekanisme pemilihan umum menjadi sangat materialistik, serba money oriented dan berpikir serba untung-rugi. Sementara yang dipertaruhkan adalah kemaslahatan umum. Ini sama saja sebentuk "legalisasi" perjudian dalam pemilihan umum. Kemerosotan moral tersebut belum selesai sampai disitu. Setelah menjadi pejabat publik masa-masa yang panjang dalam memegang jabatan dihabiskan untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya uang sebagai ganti biaya yang dikeluarkan pada kampanye pemilihan umum, terus berlanjut memperkaya diri dengan korupsi, gratifikasi, manipulasi anggaran, dan lain sebagainya.
Jadi nyatalah dihadapan kita bahwa pemilihan umum berbiaya tinggi hanya akan menciptakan generasi para pejabat yang bobrok secara moral dan lestarinya perilaku korupsi. Itu jugalah yang membuat bangsa ini memiliki ikatan persaudaraan yang kuat dengan korupsi yang tidak akan pernah selesai dengan upaya-upaya pemberantasan secanggih apapun juga. Sadarlah kita pemilihan umum berbiaya tinggi menciptakan efek domino yang panjang. Pemilihan umum akhirnya hanya soal persepsi tentang penggantian penyelenggaraan pemerintahan dan penegakan hukum dari yang buruk ke yang lebih buruk lagi, dari yang rusak ke yang lebih rusak lagi demikian seterusnya. Jarang sekali sepertinya orang menyangka bahwa masalah ini disebabkan kebijakan regulatif pemilihan umum yang membuat banyaknya daerah pemilihan.
Soal jumlah daerah pemilihan ini harus di dudukkan ulang, dipikirkan ulang. Bahwa legitimasi seseorang yang disandarkan kepada jumlah daerah pemilihan sebagai cerminan dari representasinya perlu dikoreksi. Jumlah daerah pemilihan harus dikurangi, disederhanakan, bahkan paradigma legitimasi dan representasi itu harus diperbaiki. Secara matematik kita bisa saja mengusulkan bahwa jumlah daerah pemilihan itu tidak mesti harus mencapai lima puluh persen dari total propinsi untuk pemilihan anggota DPR RI atau lima puluh persen dari total kabupaten/kota untuk pemilihan anggota DPRD. Sementara itu di sisi lain sampai saat ini konsepsi dan regulasi pemilihan umum kita masih terus bermasalah dengan diberlakukannya presidenthial threshold yang membatasi hak konstitusional warganegara untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum.
Tidak hanya soal pembatasan hak yang bersifat inkonstitusional, tetapi bahaya lain yang dapat merusak dan mengacaukan penyelenggaraan negara akibat konspirasi oligarki dan kapitalis untuk menguasai aspek-aspek penting sehingga pemerintahan menjadi sangat otoriter dan tanpa kontrol yang berarti. Sebab itulah sudah semestinya dilakukan kajian akademik yang lebih mendalam sehingga kriteria atau indikator legitimasi pemilihan umum atau kualitas pemilihan umum itu lebih baik dari sisi konseptual dalam arti tidak menimbulkan masalah yang serius ketika diimplementasikan. Jika model regulatif pemilihan umum seperti itu terus dipertahankan sulit kita bicara pemilihan umum akan efektif terlebih efisien. Sebab yang nyata adanya adalah wajah pemilihan umum yang kapitalistik, menginisiasi degradasi moral dan merebaknya money politic, korupsi dan lain sebagainya. Sebab itu tidak dapat tidak masalah yang serius ini harus cepat-cepat diselesaikan.
Oleh : Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum dan Konstitusi)