Triaspolitica.net : Tema-tema tentang politik identitas belakangan ini semakin populer dibicarakan orang di banyak tempat. Riuh-rendah dialog politik indentitas kembali meramaikan ruang publik terlebih sebab ia mengorbit dari gejolak penentangan oleh sekelompok orang dalam momentum pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Agama dan etnis atau kesukuan menjadi isu yang paling fenomenal diantara elemen lain yang tercakup di dalam kata "identitas". Dilihat dari perspektif perkembangan dan kebangkitan politik Islam misalnya, sepanjang berkaitan dengan politik identitas agama, isu ini disatu sisi dinilai muncul dari suara-suara sumbang minoritas yang menolak disintegrasi agama dengan negara maupun intervensi agama terhadap politik dan negara. Penolakan tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang asing sesungguhnya bagi umat Islam bahwa yang ingin dimajukan ketengah tak lain adalah pikiran-pikiran tentang sekularisme dan liberalisme kedalam sistem dan konfigurasi perpolitikan nasional. Adapun dari sisi politik, identitas dipolitisir sedemikian rupa sebagai cara untuk memojokkan lawan politik, merusak citranya dan untuk menjatuhkan elektabilitasnya sehingga kehilangan simpati publik.
Sampai akhirnya dicoba membangun konsolidasi pemikiran sekuat mungkin melalui propaganda semasif mungkin. Politik identitas dipojokkan sedemikian keras dilabeli dengan macam-macam stigma dengan pendapat maupun argumen yang dipandang kontradiktif dengan demokrasi, menciptakan kemunduran demokrasi, menciderai nilai-nilai demokrasi, memecah belah bangsa dan lain sebagainya. Media yang menjadi corong rezim yang berkuasa mem-framing politik identitas sedemikian rupa. Kendatipun demikian anggapan politik identitas itu bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi atau memecah belah bangsa dan lain sebagainya perlu di dudukkan secara konseptual sebelum ia (politik identitas) itu dipandang buruk secara sosiologis.
Politik Identitas, Defenisi dan Kemunculannya
Mengutip defenisi identitas dalam jurnal yang ditulis oleh Dina Lestari, "Pilkada DKI Jakarta 2017: Dinamika Politik Identitas di Indonesia", JUPE: Jurnal Pendidikan Mandala Vol. 4. No. 4. Juni 2019, Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga hlm. 13-14 disebutkan bahwa dalam sosiologi, konsep identitas merupakan struktur keanggotaan individu dalam kelompok, seperti ciri, kategori dan peranan sosial. Seseorang yang memiliki identitas yang sama mempunyai persamaan kebudayaan seperti agama, bahasa, organisasi politik dan sosial dimana tumbuh perasaan dan kesadaran esprit de corps (kekitaan). Defenisi identitas menurut Hogg dan Abrams adalah konsep masyarakat tentang siapa dan seperti apa mereka, serta bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain.
Menurut mereka masyarakat terstruktur secara hierarkis ke dalam kategori-kategori sosial dalam penggolongan individu menurut ras, negara, kelas sosial, jenis kelamin, pekerjaan, etnis, agama dan lain sebagainya. Dimana tiap kategori tersebut terdapat suatu kekuatan, status dan martabat yang memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat dan menentukan kekuatan serta status hubungan antar individu dan antar kelompok. Konsep identitas menurut Buchari merupakan tindakan yang membedakan individu atau suatu kelompok dengan individu atau kelompok lain dan dilakukan secara terus menerus dalam interaksi sosial hingga memunculkan opini tertentu yang berkaitan dengan keberadaan individu atau kelompok tersebut. Kondisi ini akhirnya membuat kemajemukan tidak lagi sebagai ikatan dalam persatuan dan kesatuan.
Defenisi tersebut hanya segelintir dari sekian banyak jurnal yang memuat pembahasan tentang politik identitas sekedar untuk sebagai deskripsi mengenai politik identitas. Menurut Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, kemunculan politik identitas di Indonesia terjadi karena beberapa faktor, antara lain : 1. Dampak dari kebijakan pemerintah yang terjadi sejak jaman Presiden Soekarno. Pemerintah tidak serius dalam membangun karakter bangsa karena hal yang dipikirkan hanya bagaimana membangun Negara (state building); 2. Sikap ambivalensi yang seringkali ditunjukkan oleh pemerintah dalam menghadapi isu terkait negara dan agama; 3. Tidak ada peran partai politik dalam proses demokrasi, sehingga sentimen sectarian atau primordial menggelinding dengan sendirinya di tengah-tengah masyarakat.
Secara teoritis politik identitas menurut Lukmantoro adalah politis untuk mengedepankan kepentingankepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan (Lihat Juhana Nasrudin, "Politik Identitas dan Representasi Politik Studi Kasus Pada Pilkada DKI Periode 2018-2022", Jurnal Studi Agama-Agama ISSN 2089-8835 Volume 1 Nomor 1 Tahun 2018, hlm. 36). Dari sekian banyak jurnal yang bicara tentang politik identitas di Indonesia beberapa diantaranya mengambil contoh pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 2017 ditandai dengan terpilihnya Anis Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk konteks politik identitas agama. Selain itu untuk konteks politik identitas kesukuan ditunjuklah misalnya pemilihan Gubernur di Kalimantan Barat dengan terpilihnya Cornelis pada tahun 2007. Sementara itu daerah seperti Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Tengah, dan Irian Jaya juga dipandang sebagai tempat-tempat maraknya terjadinya politik identitas khususnya pada pemilihan umum tahun 2019 lalu.
Dinamika dan Masalah Politik Identitas
Dari keseluruhan defenisi yang dikemukakan tentang politik identitas secara substansial terdapat satu titik persamaan bahwa secara umum semuanya berkutat pada komponen yang berbasis kedaerahan, gender, keturunan, keyakinan, budaya, kesukuan, etnis, dan agama. Inilah yang dipandang melandasi kontestasi politik dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Para politisi dianggap merekayasa sedemikian rupa dan memanfaatkan komponen tersebut untuk mendapatkan kekuasaan politik sehingga dipandang tidak elok dan menciderai demokrasi Indonesia. Sebab dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan mencerai beraikan persatuan nasional maupun persatuan di daerah-daerah.
Dalam pemilihan umum misalnya akan muncul istilah, "kami, kita, bukan orang kita" untuk menunjukkan identitas kesukuan maupun etnis. Atau dengan mengutip doktrin-doktrin agama tertentu baik Islam maupun Kristen dan lain sebagainya sebagai alat untuk mendapatkan simpati dalam komunitas pemeluk agama-agama tersebut selanjutnya disebut sebagai politik identitas agama, yaitu politik yang menjadikan agama sebagai strategi atau cara untuk memarginalkan pasangan calon lainnya sekaligus untuk mengukuhkan posisi politik kontestan tertentu yang secara sosiologis diuntungkan dengan dirinya sebagai individu bagian dari komunitas masyarakat dimana agama tertentu mayoritas dan besar pengaruhnya.
Relasi kuasa politik identitas agama dan negara di Indonesia sebenarnya bukanlah tema yang baru. Sejarah telah mencatat ketegangan ini sudah mulai terasa pada empat babakan era kenegaraan kita. Mulai dari masa sebelum kemerdekaan, orde baru dan pasca reformasi yang ditunjukan hadirnya gerakan yang berbasis Islam dan upaya penegakan politik aliran sebagai hukum formal negara. Perdebatan mengenai relasi agama dan negara yang terjadi saat ini merupakan imbas dari polemik yang pernah diperdebatkan Muhammad Natsir dan Soekarno di awal kemerdekaan. Sampai akhirnya, perdebatan tersebut berlanjut pada sidang tim 9 Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sejarah kemudian mencatat bahwa Perdebatan tersebut yang menghadirkan Piagam Jakarta di tanggal 22 Juni 1945 telah menjadi inspirasi bagi Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara, tetapi dengan menghapus butir pertama yang memuat kewajiban pelaksanaan syariat bagi pemeluknya setelah melalui perdebatan yang sangat alot (lihat Endang Sari, "Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan Gubernur Jakarta", Jurnal Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasnuddin, Volume 2 No. 2 Desember 2016, hlm. 146)
Ramainya orang mempersoalkan politik identitas agama ternyata berimbas pada upaya-upaya memojokkan agama, tokoh agama ataupun umat bergama tertentu yang dalam hal ini anak panah yang banyak melesat mengarah kepada Islam. Adapun untuk politik identitas kesukuan, etnis ataupun budaya jika mencermati perkembangan pemberitaan di media massa hampir tidak terdengar riuh rendahnya. Politik identitas agama dipersoalkan dipermasalahkan sebagai persoalan yang dianggap membahayakan persatuan nasional hingga akhirnya turut menginisiasi munculnya berbagai label yang di alamatkan kepada Islam, seperti radikal, intoleran, anti kebhinekaan, anti Pancasila dan lain sebagainya. Sampai disini melalui penggiringan opini yang masif masalahnya berkembang menjadi lebih kompleks tidak lagi pada konteks kontestasi politik lima tahunan. Tetapi masalahnya telah berkembang ke arah konsepsi negara dan agama yang perdebatannya tidak pernah selesai sejak era kemerdekaan.
Sungguhpun politik identitas ditentang oleh sekelompok elit politik. Tetapi mereka jugalah yang melanggarnya. Mendekati momentum pemilihan umum elit politik yang absurd dan demagog itu pulalah yang ramai-ramai berpenampilan serba Islami, berupaya menunjukkan keakraban dan kedekatan emosional yang kuat dengan umat Islam yang tidak lain hanya untuk menarik simpati agar memperoleh dukungan di basis-basis Islam belaka. Atau seperti kampanye yang masih membawa embel-embel, ataupun menjual nama Soekarno, seakan kehabisan cara, disebarlah baliho dengan potret Puan Maharani dengan kalimat menohok seperti "cucu Presiden Soekarno". Demikianlah seseorang yang sangat labil dan tidak layak dipaksakan untuk menjadi calon Presiden. Tragis, dan ironi tapi itulah kenyataannya. Iklim politik nasional yang penuh sesak oleh elit politik yang tidak jelas dan suka berpura-pura demi mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Singkatnya, jika identitas yang dipolitisir itu dilakukan oleh mereka dari kalangan rezim yang berkuasa maka tidak disebut politik identitas dan bukan merupakan suatu masalah. Sebaliknya jika dilakukan oleh oposisi maka disebut politik identitas dan tidak patut secara sosiologis. Jadi politik identitas sesungguhnya adalah rakitan pengusa dan elit koalisinya untuk mempertahankan kekuasaannya ataupun melanggengkan pengaruhnya dengan cara melakukan pembusukan. Elit politik di negeri ini memang di didik hidup dalam kebohongan. Jika kita mau mempersoalkan politik identitas secara objektif dan proporsional, tengoklah sejak zaman Soekarno sampai saat ini yang menjadi Presiden nyatanya selalu dari etnis Jawa dan ini telah menjadi semacam hukum kebiasaan yang dipertahankan. Ini politik identitas yang sangat nyata adanya. Anak dan menantu Jokowi sebagai Presiden menjadi walikota itu juga kenyataan dihadapan kita yang tak terbantahkan. Di banyak tempat juga sering terjadi suaminya Bupati, istrinya ketua DPRD dan lain sebagainya.
Sikap Kita Memandang Politik Identitas
Berangkat dari pemaparan tersebut perlu dibahas bagaimana sikap kita sebagai umat beragama memandang politik identitas merupakan suatu hal yang penting. Sebagai umat Islam khususnya, secara doktrinal Allah melalui Al-Qur'an menyeru dan menyuruh seseorang yang telah mengimani Islam harus mengupayakan dan mengamalkan syari'at Islam secara khaffah atau paripurna. Artinya menerima kebenaran Islam seluruhnya dan berupaya mengimplementasikannya kedalam seluruh aspek kehidupan. Adapun secara moral atau bahasa Islamnya secara akhlakul karimah (akhlak yang bbaik dan terpuji) sudah menjadi konsekuensi moral bagi seorang muslim untuk melaksanakan ajaran Islam menurut kesanggupannya setelah ia berikhtiar secara maksimal. Kondisi ini menimbulkan konsekuensi keberimanan yang luas yaitu menjadi keharusan bagi setiap muslim agar membawa Islamnya kemana saja ia melangkah dalam bentuk perilaku maupun tindakannya yang mencerminkan bahwa dirinya sebagai seorang muslim.
Islam itu harus dibawa atau harus ada dalam diri dan perilaku serta keputusan-keputusan hidup setiap muslim apapun pekerjaan dan profesinya. Menjadi dokter misalnya, Islamnya harus tercermin dalam perilaku dan keputusan-keputusan yang diambilnya, demikian pula menjadi guru, teknisi, politisi, pejabat publik, programer, intelektual atau akademisi, dan lain sebagainya Islam harus dibawa dan tercermin dalam perilaku hidupnya. Dari situlah kemudian menjadi keharusan moral bagi setiap muslim dalam konteks pemilihan umum untuk memilih pemimpin atau wakil rakyat yang muslim dan peduli pada soal-soal kemaslahatan umum baik yang sifatnya keummatan, kebangsaan atau ke-Indonesiaan secara proporsional. Demikianlah konsekuensi keberimanan yang menuntut adanya bukti jika seseorang mengaku sebagai sebagai muslim dengan mengimani Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah dan diibadahi serta mengakui Muhammad sebagai utusan Allah yang mengemban penyebaran risalah Islam.
Terkait dengan politik identitas agama, saya berpendapat bahwa politik identitas agama dilarang maupun tidak dilarang ia akan tetap ada sebab ia bagian yang tidak terpisahkan dari kenyataan hidup masyarakat yang beragama. Jika semua kenyataan ini ingin dinafikan atas dasar kecaman dan stigma yang diberikan pada politik identitas maka tidak seorangpun akan dapat menghalanginya dan malah akan mengundang polemik yang lebih besar dan rumit di tengah-tengah bangsa ini. Memang politik identitas agama sering dimanfaatkan dan dijadikan alat pamungkas bagi para kacung kekuasaan terutama oleh elit politik pada tiap-tiap musim pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah sebab kegilaan mereka pada kedudukan atau status sosial yang tinggi, penghormatan, puja-puji, kesempatan untuk menjadi kaya raya, glamor dan menikmati fasilitas yang di danai dari peluh keringat rakyat tanpa rasa malu. Demikianlah mereka yang hidup di bawah asuhan materi dan kualitas moral yang rendah.
Kita akan banyak disuguhkan dengan pemandangan elit politik yang hipokrit atau dalam bahasa Islamnya munafik pada kesehariannya tidak pernah terlihat keberagamaannya, keislamannya tiba-tiba mendekati musim pemilihan umum ramai-ramai pakai pakaian dengan nuansa syar'i, pakai gamis, sorban, jilbab, silaturrahmi ke pesantren-pesantren, showan ke kyai-kyai, hadir di majelis ta'lim, khusyu' dalam majelis sholawatan, terlihat sangat peduli dan dermawan menyumbangkan sajadah dan menjadi donatur pembangunan masjid, ziarah ke makam para tokoh agama yang masyhur dan dihormati, dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan demi dan untuk menjadi pejabat publik. Mereka inilah yang dalam terminologi latin dikenal sebagai para demagog yang suka mengumbar janji, yang gemar berpura-pura demi kepentingan temporer yaitu kekuasaan lima tahunan. Demi mendapatkan simpati orang-orang mereka menggunakan segala cara secara persuasif dengan menunjukkan rasa empati pada masalah yang sedang menimpa orang banyak. Jadi sesungguhnya masalah kita sebenarnya lebih banyak disini, bukan pada politik identitas agamanya.
Selain itu politik identitas kesukuan, etnis atau budaya misalnya dalam banyak keadaan justru diperlukan sebab berdasarkan realitas bahwa orang yang tumbuh dalam kesukuan, etnis ataupun budaya masyarakat setempat lebih dapat menjiwai dan memahami kondisi komunitasnya, kebutuhan komunitasnya serta permasalahan yang muncul dalam komunitasnya. Jika diantara mereka terdapat intelektual yang dipandang berkompeten untuk menjadi pejabat publik maka hal itu tentu saja tidak dapat dilarang andai masyarakat menyokongnya atas dasar politik identitas tersebut. Sebab keadaannya akan menjadi lain jika orang yang memimpin mereka adalah orang-orang yang tidak terlahir dan hidup dalam asuhan tradisi, kesukuan maupun etnis masyarakat tersebut. Sebab ia tidak dapat menjiwai dan memahami kondisi masyarakat yang dipimpinnya.
Demikian pula politik identitas agama, jika di komunitas masyarakat tertentu di daerah tertentu mayoritas menganut agama tertentu misalnya Islam maka konsekuensi secara logis, sosiologis terlebih moral dan akidah akan menuntun mereka memilih pemimpin yang juga muslim. Hal yang sama tentunya juga berlaku untuk komunitas masyarakat yang mayoritas beragama Kristen, dan lain sebagainya. Kondisi tersebut sesungguhnya sejalan dengan konsepsi demokrasi yang bertitik tolak dan berorientasi pada suara mayoritas dalam pengambilan keputusan politik. Sebab itu tidak dapat diterima anggapan yang mengatakan politik identitas menciderai nilai-nilai demokrasi. Lagi pula politik identitas di lingkungan masyarakat yang terbuka dan rasional misalnya malah dapat menutup ruang perpecahan dengan jalan kompromi yaitu mengusung serta memilih pemimpin dari perpaduan pemluk agama yang berbeda. Dengan demikian harmonisasi politik dapat diupayakan melalui politik identitas. Sebab itu persoalan politik identitas ini harus dipahami secara bijak, rasional, dan proporsional sehingga tidak menimbulkan polemik dan perpecahan.
Hanya saja memang dalam taraf berpikirnya orang-orang awam yang berhadapan dengan tema-tema keislaman, kebangsaan, keindonesiaan, dinamika politik nasional memang hampir tidak terbaca sama sekali. Dengan kata lain di lingkungan masyarakat yang kualitas intelektualnya rendah akibat dari pendidikannya juga rendah, ditambah kurangnya sokongan literasi dan minimnya dialog ilmiah yang mencerahkan tema seperti politik identitas baik agama, kesukuan, etnis ataupun budaya tidak dapat dijangkau dan umumnya sulit untuk dipahaminya. Lain halnya di lingkungan masyarakat yang kadar intelektualitasnya lebih baik, di kalangan orang-orang yang tercerahkan pikirannya baik karena pendidikan yang ditempuhnya yang disokong dengan literasi yang memadai, orang-orang yang tumbuh dalam tradisi dialektika pemikiran maka tema seperti politik identitas dipahaminya malahan dikritiknya bagian mana-mana yang dipandang tidak sejalan dengan pandangan intelektual yang diyakininya.
Disini kita berhadapan dengan problem masih banyaknya masyarakat kita yang kapasitas intelektualnya rendah akibat dari pendidikannya yang juga rendah. Jika ditarik lagi maka masalahnya bisa lebih rumit sebab kondisi tersebut saling kelid-kelindan dengan kebijakan pemerintah di aspek anggaran, pendidikan, ataupun keseriusan pemerintah membenahi kondisi rakyatnya. Sampai disini masalahnya tidak akan ada habisnya untuk dibahas. Keadaan seperti ini menimbulkan dilematis dalam suasana berbangsa dan bernegara. Hanya upaya penyadaran secara terkoordinir, masif dan terus meneruslah yang dapat diikhtiarkan agar kesadaran dan pemahaman bangsa ini dapat tumbuh lebih baik sehingga lebih bijak menyikapi politik identitas. Wallahu'alam bisshowab.
Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum dan Konstitusi)