Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Dispensasi Nikah Ratusan Pelajar Hamil Di Luar Nikah Salah Siapa?


Triaspolitica.net : Pada beberapa pekan lalu saat saya dan beberapa teman berkeliling di suatu kawasan di Surabaya, kami dikejutkan dengan beberapa perempuan yang lalu lalang di hadapan kami. Masalahnya mereka hanya memakai celana yang hanya sejengkal dari pinggangnya. Kami lantas berlalu pergi dengan perasaan yang campur aduk. Disitulah terpaut perenungan saya, seraya membatin saya berucap, "Ini Surabaya (Jawa Timur), bukankah ini wilayah yang basis ormas Islam-nya sangat kuat?, lalu mengapa bisa begini?, apa yang salah, apakah ormas Islam yang dominan disini tidak seorangpun dari mereka di dalamnya tidak merasa bersalah melihat ini semua?, di wilayah yang basis Islam-nya kuat malah masyarakatnya, anak mudanya seakan hidup tidak bertuhan, mereka seperti tidak mengenal agama". Dari perenungan itu menarik saya kembali pada arus deras sejarah puluhan tahun lalu tentang debat dasar negara di BPUPKI (Mei-Juli 1945 ) dan di Konstituante (1957-1959).

Debat tentang dasar negara di BPUPKI yang sangat alot sebenarnya sudah sampai pada kesepakatan bahwa negara Indonesia yang dimerdekakan akan menggunakan syari'at Islam sebagai dasar negara. Hal itu disepakati dan diputuskan akan dimasukkan kedalam pembukaan naskah rancangan UUD 1945. Dasar negara tersebut oleh Moh. Yamin diberi nama Piagam Jakarta disepakati 22 Juni 1945. Semula kesepakatan ini dipahami sebagai kesepakatan luhur dan umat Islam bergembira. Tapi kemudian keadaan berubah dengan sangat cepat. Pada momentum menjelang pengesahan UUD 1945 pada 18 Agutus 1945 UUD 1945 kesepakatan luhur 22 Juni diubah secara sepihak sehingga Piagam Jakarta batal menjadi dasar negara. Banyak pihak menyayangkan hal itu, betapa tidak sebab nyatanya Piagam Jakarta semula disepakati sebagai dasar negara. Mestinya Soekarno-Hatta langsung saja mencantumkannya apa adanya dalam pembukaan UUD 1945 dan langsung saja mengesahkannya. Tragisnya peristiwa hilangnya 7 kata, "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" pada sila pertama Piagam Jakarta lenyap dalam waktu tidak lebih dari 15 menit. Demikian dinyatakan dalam buku "Toejeh Kata" karangan Nunu A Hamijaya, dkk.

Sampai-sampai almarhum Ridwan Saidi mengatakan, secara peribadi saya menghormati Hatta, tetapi dalam masalah Piagam Jakarta harus saya katakan bahwa Hatta berdusta. Hal itu sebab Hatta dalam pengakuannya pada 18 Agustus 1945 menjelang pengesahan UUD 1945 ia kedatangan seorang opsir yang menyampaikan kabar bahwa jika pemberlakukan syari'at Islam dalam Piagam Jakarta tidak dihapus maka masyarakat Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Indonesia. dari situ Hatta dalam memoarnya merasa sedih dan berempati mengingat perjuangan selama bertahun-tahun akhirnya harus kandas lagi karena tujuh dalam Piagam Jakarta. Hatta bahkan tidak ingat siapa nama opsir itu. dan tidak ada pula saksi yang lain yang dapat menguatkan kebenaran persitiwa tersebut. Ini malapetaka besar yang menimpa negeri ini. Mengingatnya membuat Moh. Natsir sampai berujar, "menyambut 17 Agustus kita bertahmid, menyambut hari esoknya (18 Agustus 1945) kita beristigfar sebab dihapuskannya tujuh kata, semoga umat Islam tidak lupa". 

Peristiwa tersebut menjadi pukulan keras bagi umat Islam terutama dirasakan oleh kalangan cendekiawan muslim yang telah memperjuangkannya dengan kepayahan melalui debat-debat yang mencerahkan, adu argumen yang membuka cakrawala berpikir generasi bangsa ini perihal relasi Islam dengan negara. BPUPKI dan Konstituante menjadi saksi sejarah hebatnya pertengkaran pemikiran pertama dalam panggung sejarah kemerdekaan Indonesia. Hingga kini masih ada saja yang mengatakan seraya menghibur dan menenangkan umat islam yang patah hatinya, besarnya luka menganga di hatinya sebab dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Golongan ini berkata, penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta bukti betapa besarnya jiwa toleransi umat Islam. Termasuk Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya "Piagam Jakarta Konsensus Nasionalis Islam-Nasional Sekuler tentang Dasar Negara" juga mengatakan hal yang demikian itu. Berkata Dimas Widiarto dalam kata pengantarnya untuk buku "Toejeh Kata" karangan Nunu Hamijaya, "bagaimana mungkin (dihilangkannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta) dapat dimaknai kesepakatan luhur bila ternyata di dalamnya terdapat musyawarah yang dikhianati, janji yang teringkari dan pemaksaan sepihak oleh kediktatoran Soekarno". 

Lalu apa relevansinya dengan judul pada tulisan ini, jelas sekali berkaitan. Bahwa kondisi generasi umat Islam saat ini yang hidupnya liberal, sekuler adalah efek dari tiadanya legitimasi syari'at Islam secara formal dalam konstitusi. Dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang kemudian diganti dengan frasa "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam UUD 1945 tidak memberikan jaminan yang tegas pada Islam. Bahkan frasa tersebut tidak menunjuk pada agama apapun secara spesifik. Keadaan tersebut mengundang banyaknya masalah yang menimpa generasi umat ini. Beberapa pekan lalu kita disuguhkan dengan pemberitaan yang di unggah berulang-ulang tentang ratusan siswi di Ponorogo mengajukan dispensasi atau penundaan nikah disebabkan hamil diluar nikah karena belum cukup umurnya untuk dipersyaratkan menikah, ditambah masih berstatus siswi. Kemudian kondisi yang sama juga diberitakan ratusan siswi di Kediri yang jumlahnya lebih banyak dari kejadian di Ponorogo mengajukan  dispensasi nikah. Sebabnya juga hamil di luar nikah. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Surabaya, tidak pula menimpa siswi. Tapi terjadi hampir merata di seluruh wilayah di Indonesia menimpa banyak anak-anak muda umat Islam baik berstatus siswi, mahasiswi, maupun tidak dalam kedua status tersebut yang melibatkan banyak elemen masyarakat.

Ini efek dari pergaulan bebas, dan efek dari betapa agama tidak lagi berperan dalam kehidupan dalam mengontrol perilaku. Demikian pula ormas Islam yang faktanya eksistensinya sangat dominan di wilayah penduduk mayoritas muslim seakan kehilangan pengaruh dalam membangun karakter masyarakat. Kendatipun demikian, masalahnya tidak semata-mata pada variabel-variabel itu saja, tetapi dasar penerapan syari'at Islam yang sungguh kokoh telah hapus dari UUD 1945 sehingga debat, kontorversialitas relasi agama dengan negara terus mengambang di awang-awang dan menciptakan perpecahan di antara warga bangsa hingga ramainya tuduhan yang dilemparkan dan dipasungkan kepada Islam, umat Islam dan tokoh-tokohnya dengan label-label radikal, ekstrim, anti NKRI, anti Pancasila, intoleran, penyokong politik identitas, penyokong demokrasi populis dan lain sebagainya. Kenyataan tersebut menjadikan kebijakan pemerintah daerah manakala berupaya mengintegrasikan Islam kedalam peraturan daerah misalnya, kurang signifikan dan kurang efektif mengatasi keadaan masyarakat, generasi umat Islam yang demikian parah terhisap zaman. 

Suka atau tidak kondisi hari ini juga menjadi masalah warisan Soekarno-Hatta. Demikian pula menyeret Ki Bagus Hadikusumo menjadi sosok yang sangat kontroversial sebab beliau pengusung tujuh kata Piagam Jakarta sekaligus tokoh yang merelakan tujuh kata itu akhirnya dihapus. Sementara itu ada Kasman Singodimedjo yang juga turut terlibat dalam mewariskan masalah tersebut. Kasman dengan suara lirih menangis terisak mengenang peristiwa tersebut manakala ia berhasil membujuk Ki Bagus agar tujuh kata tersebut dihapus. Kasman merasakan hal itu sebagai kesalahan fatal yang tidak akan terbaiki. Ia berkata dihadapan Lukman Harun tokoh Muhammadiyah sambil mengucurkan air mata, "dalam perkara ini saya lah yang bersalah, semoga Allah mengampuni dosa saya". Pada akhirnya, liberalisasi dan sekularisasi pada level dasar negara makin melebar dan meluas menjadi liberalisasi dan sekularisasi pemikiran, gaya hidup, perilaku sosial. Inilah berbagai masalah yang kita hadapi saat sekarang ini. Tidak banyak yang dapat dilakukan melainkan upaya penyadaran yang terus menerus akan arti pentingnya Islam dalam penataan dan pengendalian masyarakat dan menjadikan Islam sebagai pandangan hidup umat Islam. Seraya mengambil iktibar dan metadabburi kesalahaan di masa lampau untuk perbaikan kondisi hari ini dan menata hari esok yang lebih baik. Sebab tenggelam dalam derita konstitusional ini bukanlah hal yang baik untuk diteruskan.

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H *(Pemerhati Hukum dan Konstitusi)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Mari bergabung bersama WA Grup dan Channel Telegram TriasPolitica.net, Klik : WA Grup & Telegram Channel

Ads Bottom

Copyright © 2023 - TriasPolitica.net | All Right Reserved