Salah satu diantara polemik yang menimpa lembaga penegak hukum di negeri ini yaitu pernikahan hakim konstitusi Anwar Usman dengan adik Presiden Joko Widodo pada 26 Mei 2022 lalu. Pernikahan sejatinya merupakan peristiwa yang biasa-biasa saja dan bersifat alamiah. Pernikahan yang diikat oleh rasa kecintaan kepada lawan jenis merupakan sunnatullah yang berlaku atas manusia menjadi kodrat manusiawi yang berasal dari Allah Tuhan Yang Maha Agung. Hanya saja alasan pernikahan atas dasar kecintaan tersebut pada beberapa peristiwa tidak dapat "diakui dan tidak dapat diterima" secara serta merta begitu saja terutama dalam urusan-urusan yang berkelid-kelindan dengan masalah penegakan hukum dan hubungannya dengan politik.
Secara yuridis atau konstitusional, melangsungkan pernikahan adalah hak setiap orang dan hukum tidak melarang seseorang untuk menikah. Melainkan hukum menjamin hak dan kebebasan setiap orang dan memfasilitasi penggunaan hak dan kebebasan itu serta melindungi hak dan kebebasan tersebut.
Hanya saja manakala seseorang dalam kapasitas yang telah diamanahkan kepadanya semisal sebagai hakim terlebih hakim konstitusi ia harus tunduk pada norma moral yang diberlakukan kepadanya agar menjaga diri dari perbuatan yang dapat menciderai citra, wibawa, kehormatan atau menimbulkan prasangka negatif dalam penegakan hukum termasuk pernikahan yang dapat menimbulkan conflict of interest (konflik kepentingan) dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sementara itu haknya untuk menikah secara hukum tidak berarti ditiadakan, tetapi dibatasi secara normatif mengingat posisinya sebagai hakim. Hal inilah yang justru tidak tercermin dalam diri Anwar Usman sebagai hakim konstitusi.
Terdapat cukup banyak ketentuan normatif maupun yang bersifat etis yang dilanggar oleh Anwar Usman selaku hakim konstitusi diantaranya yaitu ketentuan Pasal 17 ayat 4 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa "Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat".
Ketentuan ini sejalan dengan adagium latin yang masyhur dalam dunia peradilan yaitu "nemo judex indoneus in propria causa", yang berarti seorang hakim harus mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya yang berkaitan dengan dirinya. Selain itu hakim konstitusi Anwar Usman melanggar Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi pada bagian pertama Prinsip Independensi (Penerapan angka 3) menyatakan bahwa, "Hakim konstitusi harus menjaga independensi dari pengaruh lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya".
Selanjutnya bagian kedua Prinsip Ketakberpihakan (Penerapan angka 3) menyatakan bahwa, "Hakim konstitusi harus berusaha untuk meminimalisasi hal-hal yang dapat mengakibatkan hakim konstitusi tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan mengambil keputusan atas suatu perkara".
Selanjutnya pada Penerapan angka 5 huruf b menyatakan bahwa, "Hakim konstitusi-kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan–harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan yaitu Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan".
Selanjutnya pada bagian ketiga Prinsip Integritas (Penerapan angka 1) menyatakan bahwa, "Hakim konstitusi menjamin agar perilakunya tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak". Selanjutnya pada bagian keempat Prinsip Kepantasan dan Kesopanan (Penerapan angka 1) menyatakan bahwa, "Hakim konstitusi harus menghindari perilaku dan citra yang tidak pantas dalam segala kegiatan".
Kemudian Penerapan angka 2 menyatakan bahwa "sebagai abdi hukum yang terus menerus menjadi pusat perhatian masyarakat, hakim konstitusi harus menerima pembatasan-pembatasan pribadi yang mungkin dianggap membebani dan harus menerimanya dengan rela hati serta bertingkah laku sejalan dengan martabat Mahkamah".
Selanjutnya beliau Anwar Usman selaku hakim konstitusi juga melanggar ketentuan Pasal 17 ayat (4) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa, "Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat".
Selanjutnya Pasal 23 ayat (2) huruf h UU No. 7 Tahun 2020 Perubahan Ketiga UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa, "Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi". sehubungan dengan pelanggaran kode etik tersebut, ketentuan Pasal 2 angka 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi tegas mengatur bahwa, "Hakim konstitusi menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan menjaga wibawa selaku negarawan pengawal konstitusi, yang bebas dari pengaruh manapun (independen), arif dan bijaksana, serta tidak memihak (imparsial) dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Dengan banyaknya ketentuan yang dilanggar oleh Anwar Usman selaku hakim konstitusi mestinya ia mampu menginsyafi bahwa perbuatannya menikahi adik Presiden Joko Widodo telah menggerus kepercayaan publik dalam penegakan norma konstitusi. Sesungguhnya Anwar Usman tidak layak lagi untuk memeriksa dan mengadili perkara judicial review yang nota bene merupakan tema sentral menjadi tugas harian sepanjang tahun hakim konstitusi.
Dalam hal pengujian Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja misalnya, jelas terdapat konflik kepentingan. Sebab Perppu diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo yang dari sisi pribadinya merupakan kakak ipar hakim konstitusi Anwar Usman. Tidak hanya pengujian Perppu, tapi pengujian semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UUD 1945 semuanya ada keterlibatan Presiden Joko Widodo sehubungan dengan kewenangan yang diberikan kepadanya baik oleh UUD 1945 maupun oleh undang-undang.
Dengan demikian sungguh tidak layak Anwar Usman terus menerus menjadi hakim konstitusi. Persoalan etika ini mestinya menjadi sorotan penting terlebih jabatan sebagai hakim bukanlah urusan yang dapat dipandang remeh-temeh. Sebab palu keadilan ada di tangannya. Hal ini harus terus disuarakan sebab sepertinya mekanisme pengawasan internal oleh Majelis Kohormatan Hakim tidak berjalan.
Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum dan Konstitusi)