TriasPolitica.net : Tak henti-hentinya huru hara terjadi di negeri ini. Saban hari, saban bulan, saban tahun. Banyak yang mengatakan, kasihan negeri ini, setiap hari demo, tak maju-maju, lamban dan tertinggal.
Yang sebetulnya terjadi, bukan kasihan negeri ini tapi kasihan rakyat kecil di negeri ini, karena memang tidak semua rakyat menderita. Pembangunan telah berjalan dengan menguntungkan hanya segelintir pihak, dengan jurang ketidakadilan yang lebar. Rakyat kecil (buruh), hanya hidup dengan upah minimum, yg kelak akan melahirkan generasi buruh lagi. Padahal kekayaan negeri ini, lebih dari cukup untuk membuat hidup mereka sejahtera dan masa depan generasi mereka lebih cerah.
Politik Pembangunan
Persoalannya pasti bukan pada lemahnya kompetensi rakyat dan miskinnya sumber daya alam. Bukan. Persoalannya adalah pada bagaimana memobilisasi potensi alam dan rakyat itu untuk kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, mobilisasi itu oleh siapa dan untuk siapa?
Dulu-dulu mobilisasi sumber daya itu adalah oleh kolonial dan untuk keuntungan kolonial. Tapi setelah kemerdekaan, mobilisasi itu oleh pemerintah Indonesia. Artinya pemerintahlah yang mengendalikan pembangunan, oleh siapa dan untuk siapa.
Sayangnya, selama 78 tahun merdeka, pembangunan telah tidak berpihak pada rakyat. Elit-elit pemerintah memilih jalan ekonomi pasar dalam menjalankan pembangunan, yang membuat partisipasi rakyat menjadi marginal, peran pinggiran.
Politik ekonomi berpihak pada pasar (neoliberal). Indonesia dijadikan ladang persaingan global, tanpa perlindungan yang memadai bagi pelaku dan pasar domestik. Sekumpulan elit domestik menjadi komprador bagi asing, bersekongkol mengatur jalannya pasar.
Ekonomi bertumbuh, tapi hanya melahirkan konglomerasi menara Gading dan didominasi segelintir etnis tertentu (90% Tionghoa). Struktur ekonomi Indonesia menjadi laksana gelas anggur, di mana hanya segelintir orang di puncak menguasai hampir semua faktor-faktor produksi (hulu-hilir). Dan ini, sekali lagi, berhimpit pula dengan persoalan dominasi etnis, yg sejak zaman kolonial sudah selalu menimbulkan masalah. Sedangkan 'anggur pembangunan' itu, menetes sedikit untuk kalangan rakyat bawah, buruh-buruh dan masyarakat luas; beramai-ramai memperebutkan yang sedikit.
Inilah gambaran fakta yang sebenarnya. Inilah persoalan Indonesia hari ini. Inilah penyebab mengapa huru-hara terus terjadi, bahkan di setiap rezim pemerintahan, karena politik ekonomi neoliberal itu tidak diubah secara memadai.
Seharusnya elit penguasa di pemerintahan memahami hal ini, dan berusaha kuat untuk mengubah haluan pembangunan; meluruskan jalan yang salah dan mengarahkan pada tujuan baru yang menggairahkan seluruh rakyat.
Pada 9 tahun kekuasaan rezim terakhir ini, huru-hara benar-benar tidak berhenti. Masyarakat menjadi penakut, tetapi yang berani, menjadi semakin brutal, brutal di semua bidang; brutal korupsi, kolusi, dinasti, brutal merusak konstitusi dan aturan, brutal merusak akhlak bangsa. Negara hampir-hampir tanpa pengendalian, kecuali untuk mengikuti arah yang ditentukan oleh kekuatan pasar, yang didominasi segelintir orang tadi, dan elit penguasa berpihak pada kekuatan dominan tersebut.
Adakah Harapan?
Ada, yaitu ganti rezim, ganti pemerintahan, ganti haluan dan ganti politik pembangunan. STOP neoliberalisme. Kembalikan politik pembangunan Indonesia pada Politik Ekonomi Nasional. Ekonomi harus dibangun di atas fondasi _National Economic System_ (NES), Ekonomi Nasional, dan jangan lagi pada liberal capitalism.
Ikhtiar ini harus dikerjakan oleh seluruh elit kekuasaan, dan membangun partisipasi rakyat secara menyeluruh. Politik ekonomi, politik hukum, pendidikan, kebudayaan, agama dan sosial, harus dikembalikan pada kedaulatan dan kepentingan, serta untuk kesejahteraan rakyat.
Oleh : Legisan Samtafsir (Ketum Gernas Indonesia Gemilang)