Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Hijrah: Momentum Indonesia Bangkit Menjadi Negara Maju


HIJRAH: MOMENTUM INDONESIA BANGKIT MENJADI NEGARA MAJU

Oleh : Legisan Samtafsir 

Tanggal 1 Hijriyyah 1446 baru saja berlalu. Kita mengetahui, bahwa suatu peristiwa besar yang bernama HIJRAH, yang terjadi pada 1446 tahun lalu itu telah mengubah sejarah dunia. Itulah hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Tentu saja, ada berjuta makna dan pesan yang dapat kita ambil dari peristiwa itu, untuk kehidupan dan pembangunan peradaban kita hari ini.

Relevansi Hijrah di Era Ini

Apakah dengan spirit 1 Hijriyah ini berarti kita akan pindah ke negeri lain? Tidak. Pindah menjadi bangsa lain? Tidak. Menjadi peradaban lain? Tidak. Spirit Hijrah saat ini adalah mendorong kita pindah dari tradisi dan pemikiran yang usang kepada pemikiran dan tradisi yang lebih fresh, segar, produktif dan lebih bermartabat. Dalam bidang apa?, Segalanya, ya politik, ekonomi, pendidikan, hukum, komunikasi dan pranata sosial. 

Kita sangat menyadari bahwa problematika kehidupan berbangsa kita, saat ini, berada pada titik nadir yang mengkhawatirkan. Berbagai indikator perlambatan ekonomi, pengangguran, melemahnya daya beli masyarakat, kemiskinan, deindustrialisasi, kesejahteraan masyarakat, kerawanan kejahatan, narkoba, perceraian, keputusasaan masyarakat, galaunya para generasi baru akan masa depan mereka, semuanya adalah fakta yang semakin menguat untuk kita hadapi. 

Maka perayaan hari besar keagamaan di negeri kita, harus mampu menjawab problematika itu, karena memang agama adalah solusi kehidupan. Perayaan Tahun Baru Hijriyyah, tidak boleh menjadi hanya sekadar seremonial saja, tetapi haruslah menjadi momen kita bangkit menjadi negara maju, dengan kesejahteraan dan keadilan bagi semua.

Pertama, hijrah pada era material, digital dan global saat ini, dengan keadaan ummat Islam di Indonesia yang lamban dan rentan, sejatinya memaksa kita semua untuk harus pindah dari tradisi _antroposentrisme_ kepada _teosentrisme_. Apa itu? Simpelnya, pindah dari pemikiran yang berorientasi pada _hubbud dunya_ kepada orientasi pada _mahabbah ilallah_. 

Apa itu? Pindah dari berkiblat kepada dunia menjadi berkiblat kepada Allah; dari mencintai dunia menjadi mencintai Allah. Bagaimana aplikasinya? Pastikan keimanan kita kepada Allah, mantab; sehingga tujuan hidup, orientasi, sandaran dan kebahagiaan kita adalah Allah. 

Bagaimana caranya? Berikan dan persembahkan yang terbaik dari dirimu kepada sesama, kepada kehidupan semesta, sebagai wujud kecintaanmu kepada Allah. Ciptakan oleh dirimu kebaikan dan kebermanfaatan untuk masyarakat, semata-mata karena pengabdianmu kepada Allah. 

Pointnya, bermula dari kita mencintai Allah. Tingkat keimanan kita jangan lagi pada level dasar yang standart, hanya percaya, tetapi harus pada level teratas menyentuh level keimanan nya Nabi Ibrahim kekasih Allah (_khalilullah_). Artinya semakin kita mencintai Allah, maka sejatinya, semakin pula kita berikhtiar memberikan yang terbaik kepada sesama, dengan lebih baik dan lebih berkualitas.

Misalnya, manajer dan direktur yang mencintai Allah, akan lebih amanah dan berintegritas. Suami dan isteri yang mencintai Allah, akan saling lebih memberikan kebahagiaan. Karyawan dan pegawai yang mencintai Allah, akan lebih bertanggungjawab penuh menghasilkan output yang terbaik. Mahasiswa dan pemuda yang mencintai Allah, akan lebih menggunakan waktunya untuk menciptakan prestasi yang memukau bagi masyarakat.

Kemudian, lihat hasil kumulatifnya, maka kehidupan bersama kita akan lebih dinamis, produktif dan berkemajuan. Orang-orang akan berlomba menciptakan prestasi yang bermanfaat bagi kehidupan, sebagai wujud mereka mencintai Allah. Dengan demikian, mencintai Allah akan menghasilkan cinta dan kasih sayang, yang lebih kepada sesama. 

Inilah keimanan yang produktif, keimanan yang memberikan buah bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. 

Kedua, spirit hijrah saat ini harus mendorong kita untuk pindah dari tradisi ritual ibadah yang hanya fokus pada prosesnya, menjadi ditambah dengan fokus pada hasilnya (_outcome_-nya). Maksudnya, jangan hanya cukup pada pemenuhan syarat dan rukunnya, tetapi juga tambahkan upaya pencapaian outputnya. Kita tentu mengharapkan pahala ritualnya, tetapi kita perlu mengupayakan pengaruhnya pada karakter dan perilaku.

Itulah hijrah dalam rangka penguatan ibadah ritual kepada aktual, dari ibadah _mahdah_ ke _ghairu mahdah_, dari menghadapkan wajah ke qiblat Ka'bah kepada menghadapkan profesi dan pekerjaan ke qiblat Allah, dan dari ibadah yang pasif kepada yang aktif dan produktif.

Spirit hijrah seperti itu akan besar artinya bagi perubahan perilaku dan kehidupan secara menyeluruh. Indonesia sebagai bangsa, memerlukan transformasi amal-amal ibadah yang dapat menggerakkan progressivitas dan kemajuan. 

Masyarakat harus kita dorong tidak hanya melulu puas melihat hitungan pahala yang banyak dari amalan ritual, tetapi haruslah lebih puas melihat dinamika kemajuan peradaban yang lebih baik. _Outcome_ dari amalan sholat, puasa, zakat, haji, dzikir dan juga tilawah Quran, haruslah berdampak pada perilaku dan karakter bangsa yang lebih progressif.

Pengamalan ritual keagamaan janganlah dipisahkan dengan problematika kehidupan sehari-hari, baik di tingkat individu, keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara. Tidak ada dikotomi, bahwa ibadah hanya untuk mendapatkan pahala, sedangkan problematika hidup adalah urusan dunia.

Agama justru menarik dan mengintegrasikan semua problematika hidup ke dalam pusaran energi spiritual Ketuhanan, atau disebut dengan _tauhid_, suatu pandangan yang holistik bahwa seluruh kehidupan semesta disatukan dalam kesadaran Ketuhanan. Oleh karena itu, semua ritual keagamaan dimaksudkan sebagai solusi bagi segala problematika hidup di semesta. 

Inilah mengapa momentum 1 Muharram adalah energi bagi ikhtiar kita membangun bangsa dan peradaban. Dalam situasi bangsa kita yang defisit integritas moral saat ini, perayaan keagamaan sejatinya menjadi benteng pertahanan, bukan malah menjadi ajang candaan. Memberi khutbah tentang sifat kebinatangan, tetapi malah khatibnya sendiri nyata-nyata melanggar. Betapa sangat-sangat memalukan.

Ketiga, spirit hijrah di era saat ini, sebagai sebuah bangsa, sejatinya memaksa kita untuk pindah ke arus utama pemikiran nasional; yaitu penguatan kembali rasa, jiwa dan komitmen kebangsaan kita. Indonesia saat ini sungguh telah menjadi sebuah nama yang menipis rasa kebangsaannya. Solidaritas sebagai sesama anak bangsa, telah semakin kurus digerus oleh materialisme individu. Pragmatisme membuat anak bangsa lebih mendahulukan kepentingan pribadi daripada kesetiakawanan kebangsaan. Slogan sesat 'tidak ada teman abadi, yang ada kepentingan abadi', benar-benar telah terjadi.

Untuk itu, spirit hijrah yang kita dapatkan dari hijrahnya Nabi Muhammad SAW adalah penguatan solidaritas _syu'ubiyyah_ (nasionalisme, modal sosial), yang Nabi bangun begitu tiba di Madinah, dengan mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar. Perasaan senasib sepenanggungan itulah yang menjadi kekuatan Negara Madinah, untuk menghadapi musuh dari luar dan kelak membebaskan wilayah Makkah (_futuh Makkah_).

Dalam konteks Indonesia hari ini, tidak ada cara lain untuk membuat bangsa ini besar dan kuat, maju dan sejahtera untuk semua, kecuali menguatkan kembali nasionalisme kita, tidak hanya pada nama Indonesia, teritorial dan kebanggaan sejarahnya, tetapi terutama adalah nasionalisme ekonominya, pendidikan, hukum, kebudayaan dan karakter bangsanya.

Tidak ada bangsa yang kuat di dunia, tanpa kekuatan nasionalismenya. Lihat bagaimana Jepang, yang begitu kental nasionalismenya dalam semua aspek kehidupan bernegara, sehingga "ranah Jepang" begitu kuat dalam kebijakan ekonomi dan strategis lainnya. Lihat Korea Selatan, yang menjelma menjadi kekuatan dunia, karena kekuatan nasionalismenya. Lihat RRT, China, yang begitu perkasa nasionalisme mereka, sehingga menjadi negara yang pertumbuhannya super cepat di dunia, dan menyalip kecepatan Indonesia.

Oleh karena itu, spirit Hijrah tahun 2024 ini, sejatinya memaksa kita untuk memobilisasi kekuatan nasionalisme kita. Kita harus bertumbuh cepat bersama seluruh rakyat; bukan tumbuh timpang bersama oligarki. Kita bersama hijrah menjadi benar-benar bangsa Indonesia. 

Keempat, kita hijrah dari pragmatisme-oportunisme ke idealisme-berintegritas. Hidup bersama dalam negara adalah idealisme publik yang sangat tinggi nilainya. Semua harapan rakyat berkumpul dalam negara, atau dengan kata lain negara dibentuk untuk mewujudkan harapan publik. Dalam bahasa Undang-Undang Dasar 1945, Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut menjaga ketertiban dunia. Jadi idealismenya adalah kehendak seluruh rakyat.

Maka hidup bernegara haruslah mendahulukan kepentingan bersama itu, bukan pragmatisme individualis, bukan oportunisme egois. Menjadi Negarawan artinya memegang teguh idealisme bernegara itu untuk kepentingan seluruh warga. Siapapun, sejatinya adalah dan harusnya menjadi negarawan, sejauh ia hidup bersama dalam negara. Menjadi pejabat negara, artinya menjadi penjaga dan pelaksana idealisme negara, yaitu mewujudkan kehendak rakyat. Negarawan sejati adalah siapapun yang tetap loyal, komitmen dan berintegritas dalam menjaga, melaksanakan dan menegakkan idealisme negara.

Mengapa spirit hijrah yang keempat ini penting, adalah karena saat ini Indonesia benar-benar dalam titik nadir yang sangat rendah dalam menjaga moralitas bernegara. Nilai-nilai idealisme bernegara banyak yang sudah copot dari relnya. Banyak pejabat negara, yang tak lagi negarawan. Politisi, banyak yang pragmatis oportunis. Birokrasi, tak lagi kritis pada penyimpangan. Pelayanan kehendak publik menjadi transaksional, _wani piro_. Kebenaran banyak ditentukan oleh kepentingan materi dan kekuasaan.

Mari berhijrah dari semua pragmatisme oportunisme itu. Hijrah di masa Nabi SAW adalah memegang teguh nilai, komitmen pada kebenaran dan keadilan, menegakkan idealisme moral, dan melaksanakan kehendak Allah, yang mewujud dalam kehendak rakyat. Hijrah adalah keberanian dan konsisten hidup dalam idealisme dan kebenaran.

Kelima, spirit hijrah saat ini hendaknya mendorong kita untuk berpacu menciptakan warisan (_legacy_) kebaikan atau amal jariyyah. Berpacu, karena memang perjalanan waktu terus bergulir; sekali lewat tak akan bisa diulang kembali. Puluhan tahun sudah kita lalui. Terbayang, tinggal berapa lama lagi yang tersisa. Itulah kesempatan yang terbatas yang kita miliki saat ini. Maka spirit hijrah adalah energi kita untuk berlari dan melompat, segera menciptakan apa saja kebaikan yang mungkin untuk kita kerjakan. Resolusi yang selalu kita ucapkan dalam doa-doa kita, hendaknya segera kita wujudkan.

Persis sama dengan _sa'i_ yang dipraktikkan dalam haji, bahwa sudah saatnya Umat Islam dan bangsa Indonesia itu berlari kencang untuk mengatasi kelambanan dan ketertinggalannya. Mental _omong doang_ harus dihapuskan, diganti dengan mental eksekusi. Mental 'kerja, kerja, kerja', harus diganti dengan mental yang penuh "gagasan, narasi dan karya". Mental penonton harus diganti dengan pemain. Mental importir harus diganti dengan eksportir. Mental Inlandar harus diganti dengan mental yang berdaulat. Mental follower dan ketergantungan pada bangsa lain, harus diganti dengan mental leader dan _trend setter_ bagi dunia.

Sudah saatnya Indonesia bebas dari elit-elit yang bermental komprador, mental-mental antek bangsa lain, mental penjilat, mental koruptor. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia harus tegak berdiri di hadapan bangsa lain, jangan hanya membebek atau bahkan merendahkan bangsa sendiri, atau bahkan menyediakan karpet merah bagi bangsa lain untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia dan hanya menjadikan masyarakat sebagai pasar bagi produk-produk bangsa lain.

Spirit hijrah, sejatinya adalah spirit perubahan besar-besaran yang harus dilakukan di negeri kita. Manajemen pemerintahan haruslah diubah lebih profesional, berintegritas dan partisipatif; mengutamakan kepentingan publik, menghindari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Keadilan bagi semua, kesejahteraan untuk semua, dan Indonesia adil makmur untuk semua.

Penutup

Hijrah adalah transformasi mendasar, perubahan simultan, yang harus terus dilakukan. Untuk Indonesia, transformasi itu menuju adil makmur untuk seluruh rakyat. Itulah Indonesia emas, Indonesia gemilang 2045, tepat saat Indonesia berulang tahun yang ke 100 tahun kemerdekaan.

Menuju ke arah itu, sungguh banyak PR bangsa kita. _Pertama_, segera kita menata pedoman moral bangsa secara sempurna, mendasar dan komprehensif. Butir-butir nilai-nilai Pancasila, harus diterjemahkan sebagai pedoman perilaku, dan dilakukan internalisasi secara massal dan massive kepada setiap anak bangsa sehingga menjadi jati diri dan karakter bangsa.

_Kedua_, tetapkan kembali VISI Indonesia (gagasan Indonesia maju, adil dan makmur untuk semua) menjadi visi bersama bangsa, sehingga menjadi lebih visible, realistis dan menggairahkan semua. Libatkan masyarakat dalam prosesnya secara partisipatif, _bottom up,_ terencana, terukur dan terarah.

_Ketiga_, tetapkan pemimpin yang kredibel, yang memiliki kompetensi teknis manajerial dan leadership, berintegritas dan nasionalis sejati, baik di tingkat nasional maupun seluruh Kepala Daerah. Dalam hal penetapan Kepala Daerah saat ini, dengan pilkada serentak 2024, pilkada harus berlangsung secara bermartabat. Seluruh cendekiawan, alim ulama, akademisi dan tokoh bangsa, harus terlibat di dalamnya. Jangan serahkan pemilihan Kepala daerah itu kepada mekanisme pasar, yang selalu dipenuhi dengan cawe-cawe kekuasaan dan uang. Pemilihan pemimpin adalah prioritas kita semua.

_Keempat_, penegakan hukum haruslah benar dan adil. Aparat penegak hukum harus memastikan bahwa negara ini benar-benar negara hukum, di mana hukum jangan pernah ditekuk oleh kekuasaan. Kekuasaanlah yang harus tunduk di bawah hukum. Aparat hukum jangan pernah menjual murah keadilan, karena keadilan adalah jantung keutuhan bangsa dan negara. Integritas kita semua, jangan pernah digadaikan atau ditukar dengan harta dan jabatan.

_Kelima,_ pada akhirnya, PR kita terbesar adalah menciptakan pengorganisasian pemerintahan yang sangat profesional, yang memungkinkan Indonesia melaju dengan cepat, mencapai pertumbuhan dan keadilan sekaligus. Pengorganisasian yang memungkinkan berlakunya perubahan dan keberlanjutan. Pengorganisasian yang mengantarkan semua kemajuan bangsa tercapai. _Fa'tabiru ya ulil albab'_.
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - TriasPolitica.net | All Right Reserved