ANIES, PKS, PKB, & NASDEM, BERSATULAH
Oleh: Legisan Samtafsir
(Ketum Gerakan Nasional Indonesia Gemilang)
Faktanya, harapan publik ke Anies untuk memimpin tidak luntur. Dukungan untuk maju ke Jakarta-1 pun, tidak hanya dari warga Jakarta, tapi juga dari daerah; bahkan Anies diminta memimpin perubahan bersama cakada-cakada lain di seantero negeri. Itu artinya, harapan publik masih ditumpukan di pundaknya; bahwa idealisme publik masih dipersonifikasikan kepada figur Anies, yang kompeten dan berintegritas, serta rekam jejak yang penuh prestasi.
Di sisi lain, partai yang terus konsisten pada barisan yang tidak tunduk pada rezim KIM adalah PKS. Berani menentang setiap kebijakan rezim, yang merugikan masyarakat. PKS masih diingat sebagai partai yang ideologis, yang membawa nilai-nilai keadilan dan kebenaran dalam kebijakan internalnya dan juga dalam perannya sebagai pilar bernegara (sebut Partai Politik).
Fakta itu tampak semakin benar, ketika melihat bukti bahwa perolehan suara PKS di Nasional dan Jakarta pada 2024 dibanding tahun 2019, meningkat. Di Nasional/DPR, perolehan kursi PKS meningkat dari 50 ke 53 kursi; di Jakarta meningkat 2 kursi menjadi 16 kursi (terbanyak).
Bahkan efek Anies sangat besar pula bagi peningkatan suara PKB dan Nasdem. Lihat perolehan kursi di DPR tahun 2024 dibandingkan tahun 2019; PKB naik dari 58 ke 68 kursi; Nasdem dari 59 ke 70 kursi. Di Jakarta, PKB naik 5 kursi menjadi 10 kursi dan Nasdem naik 4 menjadi 11 kursi. Efek Anies memang sangat signifikan bagi partai pengusungnya.
Anies Penguat Modal Sosial
Fakta tersebut seharusnya menjadi modal awal, bagi bersatunya kekuatan yang waras dalam bernegara saat ini; mengingat kini, rakyat semakin susah mencari tempat berlabuh ketika sudah menyangkut soal keadilan dan kebenaran dalam bernegara. Meskipun kedua pihak (Anies dan PKS, ditambah PKB dan Nasdem) tidak dalam satu pengorganisasian, tapi keduanya bersatu dalam idealisme; satu chemistry, yang menjadi modal sosial dalam bernegara.
Tapi mengapa kini, tiba-tiba PKS seperti meninggalkan Anies? Benarkah. Jika benar, maka itu artinya 'bunuh diri politik" PKS. Mengapa pula, PKB mendekat dan membuka peluang ke KIM? Dan meski Nasdem sudah menyatakan secara lisan mendukung Anies dan mempersilahkan Anies mencari Cawagubnya, tapi mengapa belum juga mengeluarkan surat resminya.
Artinya juga, jika benar PKB dan Nasdem pun membiarkan Anies tidak berlayar di Pilgub Jakarta, jelas itu dapat dirasakan sebagai keterlaluan, jika bukan pengkhianatan. Setega itu kah?
Bunuh Diri Politik
Sudah finalkah PKS meninggalkan Anies, dan PKB dan Nasdem meninggalkan Anies? Jangan pernah, sebab itu adalah bunuh diri politik. Chemistry PKS dengan Anies adalah harapan publik. Ditambah PKB dan Nasdem, benar-benar kembali sebagai suatu koalisi ideal untuk membangun Jakarta dan Indonesia. Ini harus diwujudkan. Bukan karena soal Anies, tapi tantangan Jakarta dan Indonesia dalam 5 tahun ke depan, membutuhkan kekuatan yang berimbang antara KIM yang berjalan dalam bayang-bayang oligarki ekonomi dan politik, dengan kekuatan civil society yang dipersonifikasikan kepada Anies, kampus, para ulama dan para relawannya.
Pemerintahan baru Prabowo sudah bisa dipastikan akan menghadapi persoalan-persoalan yang berat, terkait banyaknya PSN yang berkonflik dengan rakyat dan bersinggungan dengan Jakarta (IKN, KCIC, PIK2, dll). Jika Anies tidak jadi berlayar di Jakarta, maka habislah kekuatan formal politik, yang ingin mempertahankan kedaulatan rakyat diperkuat. Artinya, ini akan menjadi ancaman kemunduran demokrasi dan melemahnya kedaulatan rakyat. Mungkin otoritarianisme oligark akan lebih dahsyat ke depan, jika berkaca pada 10 tahun terakhir rezim Jokowi (Tempo edisi khusus 10 Tahun Jokowi).
Penutup
Yang terbaik adalah PKS, PKB dan Nasdem bersatu, mengusung kembali Anies berlayar di Jakarta. Ini adalah pertaruhan kedaulatan rakyat. Ini soal perimbangan kekuatan dalam menghadapi dominasi dan doktrinasi oligarki politik dan ekonomi. Ini soal nasib Bangsa Indonesia ke depan.
Kembalikan politik yang bermartabat, demi keselamatan bangsa dan rakyat Indonesia. Selamat tinggal pragmatisme politik. _Fa'tabiru ya ulil abshar'._