TriasPolitica.net : Jakarta, 2 Januari 2024 – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Kamis (2/1/2024).
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
MK menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. MK juga memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebut bahwa ketentuan presidential threshold tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 281 ayat (2) UUD 1945.
"Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," tegas Saldi Isra.
Saran MK untuk Revisi UU Pemilu
Sebagai tindak lanjut, MK memberikan beberapa saran terkait revisi UU Nomor 7 Tahun 2017, di antaranya:
1. Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
2. Pengusulan pasangan calon tidak didasarkan pada persentase kursi DPR atau perolehan suara nasional.
3. Gabungan partai politik diperbolehkan asalkan tidak menyebabkan dominasi yang membatasi jumlah pasangan calon dan pilihan pemilih.
4. Partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
5. Revisi UU melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi DPR, dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Perkara yang Diajukan ke MK
Keputusan ini merupakan hasil dari pengujian yang diajukan melalui empat perkara berbeda:
1. Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 oleh Enika Maya Oktavia.
2. Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT).
3. Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 oleh Dian Fitri Sabrina, Muhammad, Muchtadin Alatas, dan Muhammad Saad.
4. Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023 oleh Gugum Ridho Putra.
Dalam gugatan tersebut, para pemohon meminta penghapusan ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu. Para pemohon berpendapat bahwa aturan tersebut membatasi hak politik partai-partai kecil dan mengurangi pilihan masyarakat dalam pemilu presiden.
Dengan putusan ini, pemilu presiden mendatang akan membuka peluang lebih luas bagi semua partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Keputusan MK ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. (DLH/CGT)