Jakarta – Presiden Prabowo Subianto menyinggung adanya sosok 'raja kecil' yang menentang kebijakan efisiensi belanja anggaran yang tengah ia jalankan. Pernyataan ini pun memunculkan berbagai spekulasi mengenai siapa yang dimaksud oleh Presiden.
Direktur Segara Institut, Piter Abdullah, menilai bahwa istilah 'raja kecil' lebih mengarah kepada kepala daerah, terutama pada tingkat kabupaten dan kota. Menurutnya, selama ini banyak kepala daerah yang bertindak seolah-olah memiliki kewenangan mutlak atas anggaran dan pemerintahan di wilayahnya.
"Saya kira itu lebih ditujukan ke kepala daerah, khususnya kabupaten kota yang memang sudah cukup lama berperilaku seperti raja kecil dengan kewenangan dan anggaran yang mereka miliki," ujar Piter dalam pernyataannya pada Senin (10/2/2025).
Ia menjelaskan bahwa sistem otonomi daerah yang memberikan kepala daerah kewenangan luas membuat mereka cenderung merasa tidak perlu patuh terhadap pemerintah pusat. Akibatnya, koordinasi antara pusat dan daerah sering kali mengalami hambatan.
Senada dengan Piter, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, juga menduga bahwa kepala daerah merupakan sosok yang dimaksud oleh Prabowo. Namun, ia juga menyebut kemungkinan lain, yakni seorang menteri yang merasa bahwa kebijakan pemangkasan anggaran dilakukan secara berlebihan.
"Ada dua, bisa kepala daerah atau menteri yang merasa bahwa pemangkasan anggaran dilakukan secara berlebihan tanpa melihat dampaknya," ujar Bhima.
Menurutnya, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan Prabowo melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 berbeda dengan pendekatan automatic adjustment yang diterapkan oleh Presiden ke-7, Joko Widodo.
"Dulu, menteri atau kepala lembaga bisa mengajukan surat rekomendasi untuk membuka blokir anggaran apabila dirasa efisiensi salah sasaran. Namun, sekarang tidak demikian," jelas Bhima.
Ia menyoroti dampak dari kebijakan ini, seperti pegawai yang harus membeli bahan bakar sendiri untuk keperluan operasional, serta gangguan dalam layanan publik akibat pemangkasan yang dilakukan tanpa pertimbangan menyeluruh.
Meski demikian, Bhima tetap mendukung pemangkasan anggaran perjalanan dinas atau rapat di hotel, karena sudah ada fasilitas gedung pemerintahan yang dapat dimanfaatkan. Namun, ia mengingatkan bahwa pemotongan anggaran yang terlalu drastis bisa mengganggu kewenangan daerah dalam mengelola anggaran sendiri, terutama bagi daerah dengan kapasitas fiskal yang terbatas.
Di sisi lain, pengamat politik Faizal Assegaf memiliki pandangan berbeda. Ia meyakini bahwa pernyataan Prabowo terkait 'raja kecil' justru merujuk pada Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.
"Tudingan tersebut memotret pada ketegangan Golkar dan Gerindra terkait keonaran gas 3 Kg. Prabowo juga kian terusik oleh lakon politik peranjingan Bahlil pada Gibran dan Jokowi," tulis Faizal dalam akun X miliknya.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah mengenai siapa sebenarnya sosok yang dimaksud sebagai 'raja kecil'. Namun, spekulasi yang berkembang menunjukkan bahwa kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan Prabowo telah memicu reaksi dari berbagai pihak, baik di tingkat daerah maupun pusat.
Polemik ini diprediksi akan terus bergulir seiring dengan implementasi kebijakan efisiensi yang dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto. (DL/GPT)