Gerakan Rakyat Tolak RUU TNI: Hentikan Upaya Menghidupkan Dwifungsi TNI!
Jakarta - Minggu (16/3/2025) : Gerakan Rakyat menegaskan sikapnya menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang tengah dibahas dan menuai banyak kontroversi. Melalui juru bicaranya yang juga Wakil Ketua Umum Bidang Politik dan Hukum, Yusuf Lakaseng, Gerakan Rakyat menyatakan bahwa RUU ini merupakan bentuk kemunduran demokrasi serta upaya pemerintah untuk menghidupkan kembali dwifungsi TNI yang seharusnya telah dihapus dalam reformasi 1998.
Menurutnya, sejak era pemerintahan Joko Widodo, ada tren yang mengkhawatirkan di mana tentara serta polisi aktif kembali diberikan posisi dalam jabatan sipil. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip supremasi sipil yang diperjuangkan dalam reformasi 1998, yang menegaskan bahwa militer harus fokus pada tugasnya sebagai alat pertahanan negara dan tidak boleh terlibat dalam politik maupun bisnis. Namun, pemerintah justru membuka ruang bagi militer untuk kembali masuk ke ranah sipil, sesuatu yang pernah menjadi masalah besar di era Orde Baru.
Gerakan Rakyat menilai bahwa RUU TNI ini bukan hanya berpotensi melemahkan prinsip demokrasi, tetapi juga berisiko menjadikan TNI sebagai alat kekuasaan. Jika aturan ini diberlakukan, ada kekhawatiran bahwa tentara tidak lagi berdiri netral, melainkan menjadi bagian dari sistem pemerintahan yang seharusnya dijalankan oleh warga sipil. Selain itu, dengan masuknya TNI ke berbagai jabatan sipil, akan sulit untuk memastikan adanya kontrol sipil yang efektif terhadap militer, sesuatu yang menjadi prinsip utama negara demokratis.
“Reformasi 1998 mengamanatkan agar TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional. Tentara tidak boleh berpolitik, tidak boleh berbisnis, dan tidak boleh menduduki jabatan di instansi sipil,” ujar Yusuf Lakaseng.
Selain berpotensi merusak demokrasi, pengangkatan perwira aktif ke jabatan sipil juga akan berdampak buruk pada profesionalitas TNI. Militer yang seharusnya fokus pada pertahanan negara bisa kehilangan orientasi akibat keterlibatannya dalam birokrasi sipil, yang memiliki mekanisme kerja berbeda dengan struktur militer. Dengan adanya kemungkinan tentara aktif menduduki jabatan di lembaga-lembaga sipil, ada kekhawatiran bahwa kebijakan pemerintahan akan semakin militeristik dan mengesampingkan prinsip-prinsip demokrasi, seperti transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi publik.
“Jika dwifungsi TNI ini dibiarkan, maka kita akan melihat penurunan kualitas demokrasi dan semakin rusaknya profesionalitas TNI. Reformasi sudah jelas mencabut dwifungsi ABRI demi mewujudkan supremasi sipil dalam tata kelola negara. Oleh karena itu, Gerakan Rakyat menuntut agar RUU TNI tidak memasukkan poin-poin yang memungkinkan TNI kembali menduduki jabatan di instansi sipil,” tegas Yusuf Lakaseng.
Gerakan Rakyat mengingatkan bahwa sejarah telah membuktikan bahwa ketika militer diberikan kewenangan untuk masuk ke dalam pemerintahan sipil, yang terjadi bukan hanya penyimpangan fungsi, tetapi juga meningkatnya represi terhadap rakyat. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa tentara tetap berada dalam jalurnya sebagai alat pertahanan negara dan tidak dijadikan alat politik oleh penguasa.
Sebagai langkah nyata, Gerakan Rakyat juga mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, akademisi, serta organisasi pro-demokrasi untuk terus mengawal isu ini dan menolak setiap bentuk intervensi militer dalam pemerintahan sipil.