Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah hingga mendekati level terendah sejak krisis moneter 1998. Pada Jumat (28/3/2025), rupiah melemah sebesar 14 poin atau 0,08 persen menjadi Rp16.676 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.562 per dolar AS.
Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menegaskan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah ini mengingatkan publik pada krisis moneter 1998. Bahkan, menurutnya, kondisi ekonomi Indonesia saat ini lebih buruk dibandingkan 27 tahun lalu.
“Pada tahun 1998, ketika rupiah berada di posisi Rp16.650 per dolar AS, total utang luar negeri Indonesia hanya sekitar USD 70 miliar atau setara Rp1.165 triliun. Sekarang, dengan kurs yang sama, utang luar negeri kita sudah tembus USD 500 miliar atau sekitar Rp8.325 triliun. Itu artinya meningkat tujuh kali lipat,” ujarnya.
Menurut Hardjuno, fakta ini menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah saat ini belum mencerminkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia secara akurat. Ia menilai nilai tukar yang ada bisa jadi masih lebih kuat dibandingkan tekanan ekonomi yang sesungguhnya.
Aset BUMN Tidak Cukup Menutup Utang
Hardjuno juga menyoroti posisi holding strategis BUMN, Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), yang memiliki aset hingga Rp10.000 triliun. Namun, meski aset tersebut terlihat besar, nilainya tidak mencolok jika dibandingkan dengan total utang luar negeri saat ini.
“Aset terbaik kita seperti Danantara saja belum tentu cukup untuk membayar seluruh utang luar negeri yang sudah mencapai Rp8.325 triliun. Ini mengkhawatirkan. Kalau aset andalan negara tidak bisa menutup utang, artinya kita harus sangat berhati-hati,” jelasnya.
Kritik Terhadap Kebijakan Utang Pemerintah
Hardjuno mengkritik pendekatan pemerintah yang selama ini dinilai membiarkan utang menumpuk tanpa adanya strategi pelunasan yang jelas. Menurutnya, utang yang terus meningkat ini harus segera dicarikan solusi agar tidak menjadi beban berkepanjangan bagi negara.
“Kalau kita tidak bisa membayar utang, artinya memang tidak mampu. Maka harus ada jalan keluar. Ini tidak bisa terus-menerus dibiarkan seperti sekarang,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan akuntabilitas fiskal di tengah sistem pemerintahan yang selalu berganti, tetapi mewariskan beban utang yang sama dari waktu ke waktu.
“Jika semua menteri berganti, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Masalah utang ini sudah jelas bermula dari Obligasi Rekap BLBI yang terus diabaikan. Itu akar persoalannya,” ungkapnya.
Langkah Prabowo Pangkas Anggaran Dinilai Belum Cukup
Meski demikian, Hardjuno mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang baru-baru ini memangkas anggaran negara untuk sejumlah sektor. Menurutnya, kebijakan ini merupakan langkah berani yang belum pernah terjadi di era pemerintahan sebelumnya. Namun, ia menilai bahwa langkah tersebut belum cukup efektif tanpa adanya kebijakan lanjutan yang lebih konkret.
“Ya, itu langkah bagus. Tapi setelah itu bagaimana? Harus ada rencana besar yang konkret dan berani. Bukan sekadar reaksi jangka pendek,” katanya.
Seruan untuk Dialog Nasional
Lebih lanjut, Hardjuno menyerukan pentingnya dialog nasional mengenai utang, fiskal, dan keberlanjutan ekonomi bangsa. Ia menekankan perlunya transparansi dan solusi komprehensif guna menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks.
“Kita harus mulai bicara jujur dan transparan. Ini soal masa depan negara. Harus ada solusi yang menyeluruh dan realistis,” pungkasnya.
Berita sudah dibuat dengan gaya penulisan formal sesuai permintaan. Silakan tinjau dan beri tahu jika ada yang perlu disunting atau ditambahkan.