Solo – Tim Kuasa Hukum Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), menyatakan kesiapannya untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang kembali mengungkit isu keaslian ijazah milik Jokowi, terlebih jika dilakukan di luar jalur hukum dan bersifat fitnah atau penyebaran informasi bohong (hoaks).
Pernyataan ini disampaikan usai pertemuan antara Jokowi dan tim kuasa hukumnya di kediamannya di Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jawa Tengah, pada Rabu, 9 April 2025. Hadir dalam pertemuan tersebut empat orang dari tim kuasa hukum, yakni Yakup Hasibuan, Andra Reinhard Pasaribu, Firmanto Laksana, dan Rivai Kusumanegara. Pertemuan ini juga sekaligus dimanfaatkan untuk bersilaturahmi dengan Jokowi.
Yakup Hasibuan, yang juga putra dari Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia, Otto Hasibuan, menyampaikan bahwa pembahasan dalam pertemuan tersebut salah satunya menyangkut isu ijazah palsu yang kembali mencuat. Padahal, perkara hukum terkait ijazah tersebut telah berlangsung sejak tahun 2023 dan telah melalui proses pengadilan.
“Sejak 2023, kami sudah menangani dua gugatan hukum mengenai ijazah Pak Jokowi dan semuanya dimenangkan oleh beliau. Putusan perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht),” ujar Yakup.
Ia menambahkan, Universitas Gadjah Mada (UGM) juga telah secara resmi menyatakan bahwa Jokowi adalah alumninya dan ijazah yang dimiliki adalah sah. Namun demikian, isu ini kembali dimunculkan justru setelah Jokowi tidak lagi menjabat sebagai presiden.
“Hal ini tentu menjadi pertanyaan bagi kami, mengapa masalah yang sudah selesai dan terbukti sah secara hukum kembali diangkat,” lanjut Yakup.
Terkait hal tersebut, pihaknya mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang dinilai telah mengusik ranah privat Jokowi. Ia menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mempersoalkan suatu hal melalui jalur hukum, namun apabila dilakukan di luar jalur hukum dan bersifat tudingan atau fitnah, maka pihaknya akan merespons secara tegas.
“Kami ingin mencegah penyebaran hoaks dan fitnah yang dapat merusak nama baik,” ujarnya.
Sementara itu, Rivai Kusumanegara menambahkan bahwa saat ini Jokowi bukan lagi pejabat publik, melainkan warga negara biasa yang hak-haknya dilindungi oleh undang-undang. Oleh karena itu, segala bentuk serangan pribadi terhadap dirinya tidak bisa lagi dianggap sebagai kritik terhadap pejabat negara.
Firman Pangaribuan, anggota tim kuasa hukum lainnya, menyampaikan bahwa pihaknya tetap menghormati kebebasan berpendapat sebagai pilar negara hukum. Namun ia mengingatkan bahwa penyampaian pendapat sebaiknya dilakukan secara bijak dan tidak menyesatkan publik dengan menghilangkan konteks atau substansi permasalahan yang sebenarnya.
“Proses hukum sudah dilalui, pembuktian sudah dilakukan, dan hasilnya ijazah tersebut sah secara hukum. Jika keabsahan ini kembali dipertanyakan, maka patut kita pertanyakan pula motif di balik pengulangan isu tersebut,” tutur Firman.
Isu ijazah palsu Jokowi kembali mencuat setelah seorang mantan dosen Universitas Mataram, Rismon Sianipar, mengunggah video di YouTube yang menyoroti penggunaan font Times New Roman pada lembar pengesahan dan sampul skripsi Jokowi. Ia meragukan keaslian dokumen tersebut dengan alasan font tersebut belum digunakan pada era 1980-an.
Menanggapi hal itu, pihak UGM telah memberikan klarifikasi resmi. Mereka menyatakan bahwa pada era tersebut sudah terdapat percetakan di sekitar kampus yang menggunakan font serupa untuk mencetak dokumen skripsi, seperti Percetakan Prima dan Sanur.
Adapun terkait keinginan Rismon untuk bertemu langsung dengan Jokowi, Rivai Kusumanegara menegaskan bahwa hal tersebut tidak dapat dilakukan secara langsung karena Jokowi telah menunjuk kuasa hukum sejak awal kasus mencuat. Oleh karena itu, setiap komunikasi hukum harus dilakukan melalui kuasa hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI).
“Berdasarkan Pasal 7 huruf 1 KEAI, apabila seseorang telah menunjuk advokat, maka semua hubungan terkait perkara tersebut hanya boleh dilakukan melalui advokatnya,” ujar Rivai.
Dengan demikian, tim kuasa hukum menegaskan bahwa isu yang sudah selesai secara hukum tidak perlu lagi diperdebatkan di ruang publik, apalagi jika bermuatan fitnah. Mereka pun membuka opsi untuk mengambil tindakan hukum demi menjaga kehormatan dan privasi kliennya.